Belilah Rumah Sebelum...
Suatu malam, serombongan orang datang ke kontrakanku. Salah seorang dari mereka baru saja menempati rumahnya yang baru. Seorang lainnya sudah lama membeli rumah. Mereka terbengong menyaksikan rumah yang kukontrak kelewat luas untuk ukuran tinggal di Jakarta. Padahal saya hanya tinggal bersama istri dan seorang anak.
"Berapa kamu kontrak ini?"
"Setahun 15 juta," jawab saya.
"Murah juga," tanggap salah satu, "Tapi kenapa tidak dibuat DP rumah baru saja."
Ungkapan terakhir itu mengingatkan saya pada usul seorang penyair yang juga baru beli rumah. Sang penyair itu berkelakar, "Masak sampeyan kalah dengan saya, hanya penyair bisa beli rumah," katanya.
Tiap kali bertemu dengan penyair itu, saya terus dipanas-panasin untuk beli rumah segera. Sampai suatu ketika saya berani iseng menelepon sebuah nomor yang menjual rumahnya di dekat rumah sang penyair.
"Halo, saya mau tanya rumah yang Bapak jual. Berapa?" begitu kira-kira.
"O, iya. Itu rumah luasnya sekitar 240 meter persegi. Saya tawarkan Rp 450 juta."
Mendengar Rp 450 juta, hatiku langsung ciut. Langsung saat itu saya hubungi sang penyair tetangganya. Dia justru mendorong untuk cek TKP, walaupun saya minder juga. Akhirnya saya hanya nontonin rumah itu. Tapi pengalaman empirik ini menjadi bagian penting.
Semangat saya mencari rumah terus dibakar oleh sang penyair dan juga teman-teman lainnya. Dan ungkapan salah seorang tamu saya yang begitu berkesan adalah: "Berapapun kamu menabung tak akan mampu mengejar harga rumah. Karena itu, kamu harus mulai dari sekarang."
Setelah saya berburu rumah melalui internet. Akhirnya saya berhasil memetakan wilayah yang ingin saya incar. Lalu saya menyusuri wilayah itu, hingga akhirnya saya dapat rumah. Walau tidak memiliki uang, saya nekat. Tak tahunya saya berhasil membayar rumah itu secara cash, meski punya utang pada saudara.
Setelah beberapa lama tinggal di rumah baru, rupanya harga rumah lompat-lampatan seudelnya sendiri. Temanku beli rumah dengan harga jauh tinggi. Bahkan setahun naik seratus juta rupiah.
Tetanggaku bilang, harga rumah bukan hanya naik, tanpa kuantum. Karena itu belilah rumah sebelum... tak ada harapan untuk mampu beli..
"Berapa kamu kontrak ini?"
"Setahun 15 juta," jawab saya.
"Murah juga," tanggap salah satu, "Tapi kenapa tidak dibuat DP rumah baru saja."
Ungkapan terakhir itu mengingatkan saya pada usul seorang penyair yang juga baru beli rumah. Sang penyair itu berkelakar, "Masak sampeyan kalah dengan saya, hanya penyair bisa beli rumah," katanya.
Tiap kali bertemu dengan penyair itu, saya terus dipanas-panasin untuk beli rumah segera. Sampai suatu ketika saya berani iseng menelepon sebuah nomor yang menjual rumahnya di dekat rumah sang penyair.
"Halo, saya mau tanya rumah yang Bapak jual. Berapa?" begitu kira-kira.
"O, iya. Itu rumah luasnya sekitar 240 meter persegi. Saya tawarkan Rp 450 juta."
Mendengar Rp 450 juta, hatiku langsung ciut. Langsung saat itu saya hubungi sang penyair tetangganya. Dia justru mendorong untuk cek TKP, walaupun saya minder juga. Akhirnya saya hanya nontonin rumah itu. Tapi pengalaman empirik ini menjadi bagian penting.
Semangat saya mencari rumah terus dibakar oleh sang penyair dan juga teman-teman lainnya. Dan ungkapan salah seorang tamu saya yang begitu berkesan adalah: "Berapapun kamu menabung tak akan mampu mengejar harga rumah. Karena itu, kamu harus mulai dari sekarang."
Setelah saya berburu rumah melalui internet. Akhirnya saya berhasil memetakan wilayah yang ingin saya incar. Lalu saya menyusuri wilayah itu, hingga akhirnya saya dapat rumah. Walau tidak memiliki uang, saya nekat. Tak tahunya saya berhasil membayar rumah itu secara cash, meski punya utang pada saudara.
Setelah beberapa lama tinggal di rumah baru, rupanya harga rumah lompat-lampatan seudelnya sendiri. Temanku beli rumah dengan harga jauh tinggi. Bahkan setahun naik seratus juta rupiah.
Tetanggaku bilang, harga rumah bukan hanya naik, tanpa kuantum. Karena itu belilah rumah sebelum... tak ada harapan untuk mampu beli..
Post a Comment