Generasi Kiai Bungah
Innalillahi Wainna ilaihi rajiun...
Malam tadi, pukul 23.32 pesan di BlackBerry saya menerima kabar dari Nasrul berita duka dari kampung. Ini berita kedua yang dia kirim kepadaku dalam waktu kurang dari 24 jam kemarin. Sebelumnya, pada pukul 03.18 dia berkabar bahwa Bapaknya juga meninggal dunia. Semoga keduanya khusnul khotimah. Amin.
Nasrul adalah teman yang saya kenal ketika di Jakarta. Kami bertemu sekitar akhir tahun 1990-an atau awal 2000-an, saat kami sama-sama mahasiswa. Kami menjadi makin akrab karena intensitas pertemuan kami di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Waktu itu dia gondrong, aktif di teater kampus juga, tapi dia lebih memilih di pergerakan.
Kami sama-sama berasal dari Gresik. Dia juga mengaku alumni Assaadah Bungah, dan punya teman dari desa saya. Selain itu, dia juga pernah nyantri di PP Al-Islah, yang diasuh oleh KH. Ahmad Maimun Adnan.
Pertemanan saya dengan Nasrul makin terikat lagi, saat adiknya, Fuad, menjadi mahasiswa di perguruan tinggi yang sama dengan tempat kuliahku pertama kali. Kini Fuad sudah menjadi kiai di Pamulang.
Ditambah lagi, adik Nasrul yang perempuan menikah dengan temanku sekampung, bernama Amin. Bersama Amin, saya pernah memiliki pengalaman tersendiri saat masih Aliyah. Dia kakak kelasku. Kami pernah satu regu dalam Palang Merah Remaja (PMR). Ketika itu, kami ikut dalam perkemahan Latihan Gabungan Palang Merah Remaja se-Kabupaten Gresik. Kami banyak berkenalan dengan peserta-peserta lain, khususnya yang tendanya bertetangga. Bersama Amin, saya pernah menindaklanjuti perkenalan di Bumi Perkemahan Delegan. Kami datangi gadis SMP Sidayu ke rumahnya. Ah, hanya dengan Amin saya ke rumah Farah, ditemui bersama Ibunya. Kalau dengan gadis-gadis lain, saya bersama rombongan. Karena itu, kesan itu begitu kuat.
Lho... Padahal mau menulis tentang generasi Kiai Bungah, kok mblaklarak sampe Sidayu.. hehe.. Tapi baiklah... Kabar wafatnya KH. Maimun Adnan sebenarnya tidak terlalu mengejutkan saya, karena sebelumnya sudah ada kabar bahwa beliau sudah sakit cukup lama. Hubungan saya sendiri dengan beliau sebenarnya tidak terlalu istimewa. Kalau dihitung pertemuan saya dengan beliau mungkin bisa dihitung dengan jari. Tapi nama beliau sangat akrab di telinga kami. Apalagi putri beliau adalah guru saya di Aliyah. Namanya Hatimah Maknunah. Ibu Tim mengajar kami di Aliyah awalnya setelah menikah dengan Bahruddin, putra tokoh masyarakat desa saya. Sayangnya, usia Bahruddin tidak panjang. Meninggal tidak terlalu lama setelah menikah.
Kalau ingat Ibu Tim, saya jadi ingat kenakalan saya. Saya melarikan diri dari ruang kelas, melalu pintu belakang, diikuti hampir seluruh siswa laki-laki. Gara-garanya dia menulis try out ebtan di papan terlalu banyak. Diam-diam saya menyelinap, dan kabur di kelas lain. Selain itu, waktu saya menjadi pengurus Osis, yang dipimpin Karim, beliau menjadi pembina Osis. Dan Karim memalsukan tanda tangannya supaya tidak ribet. Hingga suatu saat, ada surat yang tampaknya harus diketahui beliau. Nah, ketika menanda tangani surat-surat, terseliplah surat yang ada tanda tangan palsu. Hehe.. ketahuan deh...
Rupanya, waktu lebaran, Ibu Tim berkunjung ke rumah saya. Beliau memanggil Ibuku, "Mbah". Dan saya baru tahu juga di lain hari, KH. Maimun memanggil Ibu saya, "Bibi atau Bulik". Rupanya hubungan kerabatnya tidak terlalu jauh. Karena itu, saat lebaran saya berusaha untuk berkunjung ke rumah beliau. Dua kali saya diutus Ibu khusus menemui beliau untuk mengundang dalam acara pernikahan adik saya dan pernikahan saya sendiri. Beliau tampaknya sempat kaget juga melihat potonganku yang gondrong. Hehe..
***
Wafatnya KH. Maimun Adnan belum terpaut lama dengan wafatnya KH. R. Ahmad Muhammad Alhammad bin KH. Muhammad Soleh, Pemangku Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah. Saya terakhir berjumpa KH. Maimun pada saat pernikahan keponakan saya, Thoyyibah dengan Wajid. Waktu itu beliau sudah tampak kurang fit.
Kedua kiai besar itu, KH. Maimun dan KH. Ahmad, hidup di era yang sama, tapi sempat afiliasi politiknya bikin gempar masyarakat saa di era orde baru. Tapi generasi kiai di Bungah masih sangat banyak. Mereka bukan saja asli produk pesantren, tetapi juga perguruan tinggi ternama. Semoga Generasi Kiai yang mereka siapkan, jauh lebih maju lagi. Alfatihah..
Malam tadi, pukul 23.32 pesan di BlackBerry saya menerima kabar dari Nasrul berita duka dari kampung. Ini berita kedua yang dia kirim kepadaku dalam waktu kurang dari 24 jam kemarin. Sebelumnya, pada pukul 03.18 dia berkabar bahwa Bapaknya juga meninggal dunia. Semoga keduanya khusnul khotimah. Amin.
Nasrul adalah teman yang saya kenal ketika di Jakarta. Kami bertemu sekitar akhir tahun 1990-an atau awal 2000-an, saat kami sama-sama mahasiswa. Kami menjadi makin akrab karena intensitas pertemuan kami di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Waktu itu dia gondrong, aktif di teater kampus juga, tapi dia lebih memilih di pergerakan.
Kami sama-sama berasal dari Gresik. Dia juga mengaku alumni Assaadah Bungah, dan punya teman dari desa saya. Selain itu, dia juga pernah nyantri di PP Al-Islah, yang diasuh oleh KH. Ahmad Maimun Adnan.
Pertemanan saya dengan Nasrul makin terikat lagi, saat adiknya, Fuad, menjadi mahasiswa di perguruan tinggi yang sama dengan tempat kuliahku pertama kali. Kini Fuad sudah menjadi kiai di Pamulang.
Ditambah lagi, adik Nasrul yang perempuan menikah dengan temanku sekampung, bernama Amin. Bersama Amin, saya pernah memiliki pengalaman tersendiri saat masih Aliyah. Dia kakak kelasku. Kami pernah satu regu dalam Palang Merah Remaja (PMR). Ketika itu, kami ikut dalam perkemahan Latihan Gabungan Palang Merah Remaja se-Kabupaten Gresik. Kami banyak berkenalan dengan peserta-peserta lain, khususnya yang tendanya bertetangga. Bersama Amin, saya pernah menindaklanjuti perkenalan di Bumi Perkemahan Delegan. Kami datangi gadis SMP Sidayu ke rumahnya. Ah, hanya dengan Amin saya ke rumah Farah, ditemui bersama Ibunya. Kalau dengan gadis-gadis lain, saya bersama rombongan. Karena itu, kesan itu begitu kuat.
Lho... Padahal mau menulis tentang generasi Kiai Bungah, kok mblaklarak sampe Sidayu.. hehe.. Tapi baiklah... Kabar wafatnya KH. Maimun Adnan sebenarnya tidak terlalu mengejutkan saya, karena sebelumnya sudah ada kabar bahwa beliau sudah sakit cukup lama. Hubungan saya sendiri dengan beliau sebenarnya tidak terlalu istimewa. Kalau dihitung pertemuan saya dengan beliau mungkin bisa dihitung dengan jari. Tapi nama beliau sangat akrab di telinga kami. Apalagi putri beliau adalah guru saya di Aliyah. Namanya Hatimah Maknunah. Ibu Tim mengajar kami di Aliyah awalnya setelah menikah dengan Bahruddin, putra tokoh masyarakat desa saya. Sayangnya, usia Bahruddin tidak panjang. Meninggal tidak terlalu lama setelah menikah.
Kalau ingat Ibu Tim, saya jadi ingat kenakalan saya. Saya melarikan diri dari ruang kelas, melalu pintu belakang, diikuti hampir seluruh siswa laki-laki. Gara-garanya dia menulis try out ebtan di papan terlalu banyak. Diam-diam saya menyelinap, dan kabur di kelas lain. Selain itu, waktu saya menjadi pengurus Osis, yang dipimpin Karim, beliau menjadi pembina Osis. Dan Karim memalsukan tanda tangannya supaya tidak ribet. Hingga suatu saat, ada surat yang tampaknya harus diketahui beliau. Nah, ketika menanda tangani surat-surat, terseliplah surat yang ada tanda tangan palsu. Hehe.. ketahuan deh...
Rupanya, waktu lebaran, Ibu Tim berkunjung ke rumah saya. Beliau memanggil Ibuku, "Mbah". Dan saya baru tahu juga di lain hari, KH. Maimun memanggil Ibu saya, "Bibi atau Bulik". Rupanya hubungan kerabatnya tidak terlalu jauh. Karena itu, saat lebaran saya berusaha untuk berkunjung ke rumah beliau. Dua kali saya diutus Ibu khusus menemui beliau untuk mengundang dalam acara pernikahan adik saya dan pernikahan saya sendiri. Beliau tampaknya sempat kaget juga melihat potonganku yang gondrong. Hehe..
***
KH. Maimun berdiri di samping kakak Ipar saya, saya berdiri di belakangnya |
Kedua kiai besar itu, KH. Maimun dan KH. Ahmad, hidup di era yang sama, tapi sempat afiliasi politiknya bikin gempar masyarakat saa di era orde baru. Tapi generasi kiai di Bungah masih sangat banyak. Mereka bukan saja asli produk pesantren, tetapi juga perguruan tinggi ternama. Semoga Generasi Kiai yang mereka siapkan, jauh lebih maju lagi. Alfatihah..
Semoga dilapangkan perjalanannya cak
BalasHapusAmin..
Hapusamin gus
BalasHapus