Biarlah PMII Merantau

55 tahun lalu, 17 April 1960, akhirnya para mahasiswa yang nahdliyyin resmi mendirikan sebuah organisasi baru bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Masa itu, Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu partai politik yang mengikuti kontestasi pemilihan umum. Saya kira, NU merupakan salah satu jenis partai politik yang mencoba untuk merengkuh seluruh potensi yang dimilikinya untuk meraih kekuasaan melalui sistem keluarga. Komunitas ibu-ibu NU bersatu dalam Muslimat NU. Para pemuda dan pemudi bergerak dalam Gerakan Pemuda Ansor dan Fatayat NU. Golongan anak-anak bergabung dalam Ikatan Pelajar (Putra) Putri NU (IPNU-IPPNU). Sempat juga muncul Ikatan Mahasiswa NU, namun mereka bermetamorfosa menjadi PMII.

Memilih nama “Islam Indonesia” daripada “Nahdlatul Ulama”, terlepas adanya ketidaksetujuan beberapa tokoh NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa, tampaknya menunjukkan adanya gairah tradisi berpolitik yang berbeda di antara para kelompok-kelompok NU yang lain dengan kalangan mahasiswa NU pada masa itu. Jika seluruh organisasi lainnya menggunakan subdomain NU, mahasiswa justru membuka domain baru bernama Islam Indonesia. Di sini juga tampaknya gerak para mahasiswa NU tidak mau terlalu terikat atau terbatas gara-gara simbol NU, yang kesannya terlalu kaku. Sebab, NU merupakan sekumpulan ulama, atau lebih spesifik berarti merujuk pada kumpulan kaum santri yang menganut “ajaran” dan “prilaku” tertentu. Penjelasan “ajaran” dan “prilaku” tertentu telah banyak diuraikan dalam berbagai kajian tentang pesantren. Saya tidak tahu persis bagaimana peran-peran penting mahasiswa NU pada saat itu dalam pemenangan Partai NU. Yang jelas, jumlah mahasiswa berlatar belakang santri yang peduli terhadap NU saat itu masih sangat terbatas.

Bisa jadi, tidak menggunakan NU sebagai bagian dari nama organisasi mahasiswa tersebut karena sudah menjadi karakter khas mahasiswa pada umumnya,memang punya kecenderungan kritis, skeptis, sinis, dan lain-lain, sehingga memilih mengambil jarak yang cukup terhadap politik kekuasaan. Dengan tidak menggunakan embel-embel NU secara jelas, memberikan posisi yang cukup strategis untuk bisa mengkritik arah atau kebijakan politik NU sebagai partai politik, walaupun PMII adalah organisasi otonomi partai NU itu sendiri.

Ketika NU tidak lagi menjadi partai politik, 1972 PMII mencanangkan untuk mendeklarasikan diri sebagai organisasi independen. Dan 1973 PMII benar-benar menyatakan sebagai organisasi mahasiswa yang independen. Sikap ini mempertegas keengganan mahasiswa NU untuk benar-benar berada dalam pantauan para senior dan orangtuanya. Meskipun ada persoalan kebijakan NKK/BKK dari orde baru yang benar-benar ingin membrangus gerakan politik yang lebih luas, termasuk di dalam kampus, demi melancarkan ideologi pembangunanisme. Namun, wacana untuk memulangkan PMII ke pangkuan NU terus bermunculan hingga sekarang. Bahkan gosip untuk memulangkan PMII dalam Muktamar NU 2015 ini tampak lebih kencang. Gejala apa sebenarnya yang terjadi?

Ada banyak retorika bermunculan sebagai argumentasi pemulangan PMII ke NU, di antaranya: PMII sudah terlalu jauh pergi, merantau, menjelajahi tradisi intelektual dan keagamaan. Bahkan anak-anak PMII dianggap telah tersesat sangat jauh. Selain itu, ada juga fenomena penjelajahan politik anak-anak PMII yang sangat jauh, melampaui teritorial tradisinya. Pada pemilu 2014 menunjukkan hampir di seluruh partai politik peserta pemilu terdapat anak-anak PMII. Bagi pengurus-pengurus NU yang merasa harus mengumpulkan kekuatan kader PMII untuk memenangkan salah satu partai, pemulangan PMII dari partai rantau menjadi penting, walaupun sebenarnya sebuah partai tidak akan mampu menampung seluruh potensi kader PMII. Selain itu, anggota PMII tentu saja tidak seluruhnya berasal dari NU. Ada banyak bukti dan data, beberapa mahasiswa yang bergabung PMII berasal dari latar belakang keluarga yang bukan NU. Sebaliknya, banyak mahasiswa yang berlatar belakang keluarga NU, tetapi memilih aktif di organisasi kemahasiswaan lain.

Jika menengok pada gagasan kembali ke khittah NU 1984, sebenarnya NU ingin melakukan diaspora kader sebesar-besarnya dan membangun aliansi-aliansi dengan berbagai kalangan untuk memperluas pengaruh kekuatan NU. Melihat perantauan kader-kader PMII ke berbagai bidang kehidupan ini menunjukkan bahwa khittah NU 1984 telah cukup ampuh membuka keran tersebut. Bagaimana pun, sejarah mencatat bahwa PMII lahir dari rahim NU dan ajaran NU tetap mengalir dalam silabus pengkaderan PMII. Seperti halnya generasi muda sekarang, mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang merantau. Persoalan dia kelak pulang kampung untuk membangun desanya, itu hal yang perlu diapresiasi. Namun bagi mahasiswa yang akhirnya kecantol gadis atau pekerjaan di kampung perantauan, bukanlah suatu masalah. Mereka pasti mau mengirim wesel atau transfer sebagian hasil kerjanya ke orangtuanya. Tak perlu diancam dengan melahirkan organisasi mahasiswa baru. 

Biarlah PMII merantau. Independen. Mandiri. Jangan kerangkeng PMII dalam kepentingan picik. Selamat Hari Ulang Tahun PMII ke 55.

Tidak ada komentar