Penjelasan E-Vote ala Humas BPPT
Menjelang Muktamar NU dan Muhammadiyah, serta Pilkada serentak, Humas BPPT memberikan kabar gembira bahwa BPPT berhasil melakukan uji coba e-vote, yakni e-KTP bisa dipakai untuk vote secara elektronis. Ide e-voting ini memang sudah lama diimpikan di Indonesia. Beberapa negara negara maju seperti Jerman, Amerika, India, dan lain-lain sudah pernah menerapkan aplikasi ini. Bahkan BPPT pernah menerapkan di beberapa desa dalam proses pilkades. Beberapa negara maju, seperti Jerman dan Amerika, ternyata telah meninggalkan e-vote. Di Belanda juga mengalami kebocoran. Tapi itu dulu, entah sekarang. India yang konon masih aman.
Sebagai warga negara, saya mencoba untuk mempertanyakan kecanggihan aplikasi tersebut, "kebebasan dan kerahasiaannya di mana? Apakah ada jaminan?" begitu saya bertanya di Twitter. Humas BPPT pun menanggapi, "@caklul silahkan di audit. Kalau hanya bisa omong. Kapan digunakan".
Voting adalah salah satu peristiwa penting dalam proses mencari pemimpin atau keputusan terbaik di negeri ini dan beberapa lembaga masyarakat lainnya. Voting hanyalah satu rangkaian dari berbagai rangkaian mencari pemimpin atau keputusan penting lainnya. Sebelum terjadi voting, ada proses panjang, perdebatan, transaksi-transaksi, bahkan perkelaian. Setelah terlaksana voting, rangkaian itu belum usai, atau diterima begitu saja. Pihak-pihak yang kecewa, akan melakukan beragam reaksi, termasuk aksi kekerasan, kerusuhan, dan sebagainya.
Pelaksanaan voting mungkin bisa jadi sangat sederhana. Selama ini ada banyak mekanisme pelaksanaan voting, ada yang terbuka dan ada yang tertutup. Masing-masing tergantung pada konteks dan situasinya. Dan tentu juga implikasinya pun beragam. Dalam konteks politik dengan suhu panas yang tinggi, proses menuju voting sendiri kemungkinan sangat keras, begitu juga pasca voting. Berapa kali kasus pilkada yang menghasilkan kekerasan sosial? Berapa kali kasus pemilihan pemimpin berujung pada kekerasan mental dan fisik? Tidak terhitung. Karena itu, voting bukanlah perkara mudah, walau pelaksanaannya mungkin mudah dan sederhana.
Sejauh mana e-vote menjamin kerahasiaan dan kebebasan bagi para pemilih? Saya memang bukan ahli teknologi. Tetapi justru karena bukan ahli teknologi saya bertanya. Setahu saya, karena terbatas pengetahuannya, setiap aplikasi elektronik yang berfungsi menangkap data elektronik selalu meninggalkan jejak, kecuali di dalamnya ada sistem penghapus chace secara langsung. Misal, ketika KTP ditempelkan kepada aplikasi penangkap data untuk menentukan pilihan, maka di sana akan tercatat dalam log history yang berisi data KTP, waktu, dan tindakan. Siapa yang bisa menjamin bahwa log histories itu tidak jatuh pada salah satu pihak yang terlibat dalam pemilihan pemimpin? Sehingga para pemilih pun merasa aman atas kerahasiaan dan kebebasannya dalam menentukan pilihan. Selain itu, alat elektronik juga bisa dihack dari jarak jauh.
Begitu juga jaminan atas keamanan aplikasi tersebut dari tangan-tangan penjahat. Bagaimana pun, teknologi hanyalah alat yang diciptakan untuk memenuhi berbagai macam keinginan. BPPT memang sudah menerapkan sistem ini dalam berbagai even, termasuk pilkades. Tentu saja penjahat tingkat desa dengan penjahat tingkat yang lebih luas berbeda kualitasnya. Apalagi kepentingan orang-orang berduit kalau sudah sangat serius akan dibiayai berapapun. Sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, bahwa kemajuan penjahat seiring dengan perkembangan teknologi yang ada.
Kasus Belanda, misalnya, mesin e-voting pernah ‘bocor’, dengan rasio signifikan: delapan dari sembilan mesin e-voting bocor. Pancaran gelombang radio dari mesin e-voting buatan Nedap, perusahaan teknologi asal Belanda, itu, bisa diterima pihak lain dalam jarak beberapa meter dari TPS, sehingga datanya bisa diakses. Buntutnya, publik di Belanda mengatakan nee untuk e-voting, dan sejak berakhirnya pemilu 2007, Belanda kembali ke cara lama dalam memberikan suara, yaitu mencontreng.
Problem Komunikasi
Apakah pertanyaan saya salah, kok Humas BPPT merasa tersinggung? Dengan menjawab, "@caklul biasakan baca di berita2 sebelumnya. Baru berkomentar. #smartpeopledid"."
BPPT adalah salah satu lembaga eksekutif yang bertugas melayani publik. Sebagai lembaga pemerintah, ia bekerja menggunakan dana APBN, yang bersumber dari Pajak, non-pajak, dan pendapatan lain. Dengan kedudukan hukum yang demikian, selayaknya Humas yang bertugas menyampaikan informasi publik memberikan penjelasan secara proporsional. Bukan dengan nada yang marah. Sebagai pelayanan publik, justru memberikan penjelasan, bukan marah-marah. Berita-berita tentang kecanggihan e-vote yang diciptakan oleh BPPT bukanlah berita populer dan jelas. Coba saja cek di google, apa berita e-vote ala BPPT yang tampil pertama dengan penjelasan yang baik?
Sebaiknya cara kerja Humas BPPT adalah cukup dengan menunjukkan link berita atau video feature kecanggihan e-vote BPPT. Bukan malah menyuruh cari-cari beritanya terlebih dahulu. Itu cara kerja bos. Padahal Rakyatlah yang berdaulat atas negeri ini.
Sebagai warga negara, saya mencoba untuk mempertanyakan kecanggihan aplikasi tersebut, "kebebasan dan kerahasiaannya di mana? Apakah ada jaminan?" begitu saya bertanya di Twitter. Humas BPPT pun menanggapi, "@caklul silahkan di audit. Kalau hanya bisa omong. Kapan digunakan".
Voting adalah salah satu peristiwa penting dalam proses mencari pemimpin atau keputusan terbaik di negeri ini dan beberapa lembaga masyarakat lainnya. Voting hanyalah satu rangkaian dari berbagai rangkaian mencari pemimpin atau keputusan penting lainnya. Sebelum terjadi voting, ada proses panjang, perdebatan, transaksi-transaksi, bahkan perkelaian. Setelah terlaksana voting, rangkaian itu belum usai, atau diterima begitu saja. Pihak-pihak yang kecewa, akan melakukan beragam reaksi, termasuk aksi kekerasan, kerusuhan, dan sebagainya.
Pelaksanaan voting mungkin bisa jadi sangat sederhana. Selama ini ada banyak mekanisme pelaksanaan voting, ada yang terbuka dan ada yang tertutup. Masing-masing tergantung pada konteks dan situasinya. Dan tentu juga implikasinya pun beragam. Dalam konteks politik dengan suhu panas yang tinggi, proses menuju voting sendiri kemungkinan sangat keras, begitu juga pasca voting. Berapa kali kasus pilkada yang menghasilkan kekerasan sosial? Berapa kali kasus pemilihan pemimpin berujung pada kekerasan mental dan fisik? Tidak terhitung. Karena itu, voting bukanlah perkara mudah, walau pelaksanaannya mungkin mudah dan sederhana.
Sejauh mana e-vote menjamin kerahasiaan dan kebebasan bagi para pemilih? Saya memang bukan ahli teknologi. Tetapi justru karena bukan ahli teknologi saya bertanya. Setahu saya, karena terbatas pengetahuannya, setiap aplikasi elektronik yang berfungsi menangkap data elektronik selalu meninggalkan jejak, kecuali di dalamnya ada sistem penghapus chace secara langsung. Misal, ketika KTP ditempelkan kepada aplikasi penangkap data untuk menentukan pilihan, maka di sana akan tercatat dalam log history yang berisi data KTP, waktu, dan tindakan. Siapa yang bisa menjamin bahwa log histories itu tidak jatuh pada salah satu pihak yang terlibat dalam pemilihan pemimpin? Sehingga para pemilih pun merasa aman atas kerahasiaan dan kebebasannya dalam menentukan pilihan. Selain itu, alat elektronik juga bisa dihack dari jarak jauh.
Begitu juga jaminan atas keamanan aplikasi tersebut dari tangan-tangan penjahat. Bagaimana pun, teknologi hanyalah alat yang diciptakan untuk memenuhi berbagai macam keinginan. BPPT memang sudah menerapkan sistem ini dalam berbagai even, termasuk pilkades. Tentu saja penjahat tingkat desa dengan penjahat tingkat yang lebih luas berbeda kualitasnya. Apalagi kepentingan orang-orang berduit kalau sudah sangat serius akan dibiayai berapapun. Sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, bahwa kemajuan penjahat seiring dengan perkembangan teknologi yang ada.
Kasus Belanda, misalnya, mesin e-voting pernah ‘bocor’, dengan rasio signifikan: delapan dari sembilan mesin e-voting bocor. Pancaran gelombang radio dari mesin e-voting buatan Nedap, perusahaan teknologi asal Belanda, itu, bisa diterima pihak lain dalam jarak beberapa meter dari TPS, sehingga datanya bisa diakses. Buntutnya, publik di Belanda mengatakan nee untuk e-voting, dan sejak berakhirnya pemilu 2007, Belanda kembali ke cara lama dalam memberikan suara, yaitu mencontreng.
Problem Komunikasi
Apakah pertanyaan saya salah, kok Humas BPPT merasa tersinggung? Dengan menjawab, "@caklul biasakan baca di berita2 sebelumnya. Baru berkomentar. #smartpeopledid"."
BPPT adalah salah satu lembaga eksekutif yang bertugas melayani publik. Sebagai lembaga pemerintah, ia bekerja menggunakan dana APBN, yang bersumber dari Pajak, non-pajak, dan pendapatan lain. Dengan kedudukan hukum yang demikian, selayaknya Humas yang bertugas menyampaikan informasi publik memberikan penjelasan secara proporsional. Bukan dengan nada yang marah. Sebagai pelayanan publik, justru memberikan penjelasan, bukan marah-marah. Berita-berita tentang kecanggihan e-vote yang diciptakan oleh BPPT bukanlah berita populer dan jelas. Coba saja cek di google, apa berita e-vote ala BPPT yang tampil pertama dengan penjelasan yang baik?
Sebaiknya cara kerja Humas BPPT adalah cukup dengan menunjukkan link berita atau video feature kecanggihan e-vote BPPT. Bukan malah menyuruh cari-cari beritanya terlebih dahulu. Itu cara kerja bos. Padahal Rakyatlah yang berdaulat atas negeri ini.
Post a Comment