Kenapa Gus Dur Tidur di Lantai?
Oleh Sahlul Fuad
Tidur di lantai bagi banyak orang mungkin bukan persoalan penting dan menarik untuk dikomentari. Namun kalau yang melakukan adalah orang sekaliber KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, saya menilai menjadi bukan peristiwa biasa.
Saya meyakini bahwa Gus Dur adalah sosok yang banyak berinteraksi dengan berbagai jenis manusia lainnya. Apalagi beliau tidak hanya pernah tinggal di Indonesia, khususnya Jombang, Jakarta, dan Jogja. Beliau juga pernah tinggal di Kairo Mesir, Baghdad Iraq, dan juga di Belanda dalam jangka waktu lebih dari sekadar hari atau minggu, bahkan bulan dan tahun. Belum lagi pergaulan beliau sebagai seorang Ketua Umum PBNU dan sebagai seorang Presiden RI. Entah berapa jenis manusia yang pernah beliau kenal. Pasti luar biasa.
Pada saat beliau sudah tidak menjabat sebagai Presiden RI dan tidak juga sebagai Ketua Umum PBNU, konon kesibukannya tetap tiada tara. Sopir beliau pernah bilang kepada saya bahwa beliau sangat jarang di rumah. Sehari sebelumnya baru datang dari Jepang, esok harinya sudah ke penjuru Indonesia yang lain. Usai dari satu tempat, bergerak lagi ke tempat yang berbeda lagi. Jadi di rumah hanya sejenak. Hal ini menunjukkan betapa daya tahan tubuh beliau tidak sekuat jenis manusia pada umumnya. Saya sendiri kalau baru datang dari perjalanan jarak jauh, rasanya sudah ingin tidur sehari semalam atau bahkan seminggu ingin istirahat total. Akan tetapi Gus Dur seperti seorang pelari maraton yang tak pernah finish.
Bisa jadi, kemampuan Gus Dur dalam memenuhi berbagai jenis undangan ini diimbangi dengan kemampuan dalam memanfaatkan berbagai kondisi untuk beristirahat. Salah satu contoh yang paling dikenal oleh publik adalah ketika beliau menjadi narasumber seminar, ternyata bisa dimanfaatkan untuk tidur sejenak di kursi narasumber sambil menanti giliran untuk berbicara. Banyak sumber yang mengatakan bahwa pada saat beliau tidur di kursi narasumber itu benar-benar tidur yang nyenyak. Hal ini dinilai dari bunyi dengkur yang didengar oleh narasumber di sampingnya. Anehnya, walau tampak nyenyak, beliau tetap mampu mendengar pertanyaan atau sanggahan yang diajukan kepadanya. Terbukti beliau bisa menjawab atau menanggapi secara relevan atas persoalan yang dikemukakan kepada beliau.
Selain itu, kemungkinan yang paling sering dilakukan adalah memanfaatkan kendaraan perjalanan sebagai tempat istirahat. Meski demikian, tentu saja ada juga yang tidak setuju. Mereka akan mengatakan bahwa duduk dan tidur di kendaraan yang sedang berjalan bukanlah bagian dari kategori istirahat. Sebab goncangan atau getaran kendaraan berimplikasi pada tidak berhentinya seluruh bagian organ manusia. Oleh karena itu, tidur di mobil yang sedang melaju bukanlah istirahat. Apalagi posisi lutut dan/atau pinggul tidak dalam kondisi rileks. Sebab itulah, banyak orang tetap merasa lelah setelah perjalanan jauh. Namun terlepas dari ketidaksetujuan tersebut, saya memandang bahwa tidur beliau di kendaraan masih tetap menjadi bagian dari upaya istirahat beliau. Sebab, meskipun ada organ tubuh yang tergoncang-goncang, namun pendinginan terhadap otak dan hati melalui tidur mempunyai nilai yang tidak bisa diabaikan.
Kebiasaan Tidur di Lantai
Nah, berbicara urusan istirahat Gus Dur tampaknya perlu penelusuran lebih jauh lagi. Saya sendiri hanya menemukan satu gaya istirahat beliau yang unik, yaitu tidur di lantai. Di mana pun menginap, Gus Dur biasa tidur di lantai. Pernyataan ini pertama kali saya dengar dari istri beliau, Ibu Shinta Nuriyah, pada waktu wawancara di kediamannya sekitar pertengahan tahun 2010.
Menurut Bu Shinta, kebiasaan Gus Dur tidur di lantai merupakan kebiasaan yang tidak berubah sejak dahulu bahkan sampai menjadi Presiden. Walaupun menginap di hotel berbintang sepuluh pun, tampaknya beliau tetap hanya mengambil bantalnya dan membiarkan kasurnya. Karena itu, walaupun ada keluarga yang sudah menyiapkan kamar tidur dengan ranjang dan kasur sedemikian rupa, upaya penghormatan itu menjadi sia-sia. Karena Gus Dur tetap memilih tidur di lantai.
Kisah yang dikemukakan oleh Ibu Shinta Nuriyah ini mengingatkan saya pada saat sowan ke Gus Dur bersama emak. Sekitar pertengahan 2009, saya mengajak emak, yang sedang menjenguk cucunya di Bekasi, untuk sowan ke Gus Dur. Saya menelepon Cak Musthofa menanyakan kemungkinan bisa berjumpa dengan Gus Dur. Cak Mus mempersilahkan kami datang ke kediaman Ciganjur sekitar pukul 06:00 WIB. Karena itu, saya menginap di Bekasi dan usai salat Subuh berangkat ke lokasi bertiga: Emak, Cak Syafa', dan saya, naik taksi. Sampai di kediaman Ciganjur sekitar pukul 06:00 WIB.
Kami bertiga dipersilahkan masuk ke ruang tamu. Saya melihat Gus Dur sedang duduk di lantai, di samping meja kursi tamu, dan sedang berbincang-bincang dengan Cak Mus. Beliau memakai kaos dan celana pendek. Di lantai berkarpet itu saya juga melihat ada bantal dan guling. Saya menduga beliau baru bangun tidur dari tempat itu juga.
Setelah emak memperkenalkan diri sebagai adik KH. Moh. Baqir Adelan, Gus Dur bercerita bahwa pada saat Kiai Baqir mengundangnya ke Kranji, saat itu beliau benar-benar seperti sangat diharapkan. "Mungkin waktu itu Kiai Baqir sudah merasa (mendekati ajal), sehingga beliau sangat-sangat berharap saya bisa hadir ke Kranji. Sayangnya waktu itu kondisi kesehatan saya tidak memungkinkan. Dokter juga melarang saya. Akhirnya saya suruh anak saya (Inayah) saja yang datang ke sana."
Dari pengalaman ini, saya langsung bisa mengonfirmasi pernyataan Ibu Nuriyah bahwa Gus Dur biasa tidur di lantai. Pernyataan bahwa Gus Dur terbiasa tidur di lantai juga dikonfirmasi oleh kesaksian KH. Husein Muhammad, ketika saya menyatakan kepada beliau. Dan foto Gus Mus saat berbincang dengan Gus Dur yang sedang tidur di lantai ini memperkuat argumen bahwa Gus Dur suka tidur di lantai.
Sehat Jasmani
Persoalan selanjutnya adalah kenapa Gus Dur suka tidur di lantai? Apakah tidur di lantai memiliki manfaat tertentu? Ketika saya bertanya kepada Ibuu Shinta tentang apa alasan beliau tidur di lantai, Ibu Shinta tidak menjelaskan lebih jauh, entah tidak mau atau benar-benar tidak tahu. Beliau hanya mengatakan bahwa Gus Dur tidur di lantai memang sudah kebiasaan sejak dahulu. Oleh karena itu, saya mencoba menafsirkan berbagai kemungkinan alasan kenapa Gus Dur suka tidur di lantai.
Saya kira kebiasaan tidur di lantai yang dilakukan oleh Gus Dur bukan sekadar kebiasaan tanpa alasan. Apalagi hal itu juga beliau lakukan ketika di hotel atau di rumah siapa pun. Jika alasan bahwa tubuh yang gemuk cenderung berkeringat saat tidur, di tempat dengan suhu yang rendah kemungkinan tidak akan berkeringat. Di hotel, misalnya, suhu kamar bisa jadi mencapai 18 derajat celsius atau bisa dibikin lebih rendah lagi, jika dianggap kurang sejuk. Akan tetapi, Gus Dur tetap tidak menggunakan fasilitas kasur yang diberikan oleh hotel. Oleh karena itu, alasan kaitan antara suhu ruangan dengan suhu badan tidak bisa dijadikan sebagai alasan menolak tidur di kasur.
Oleh karena tidak mengetahui alasan kenapa Gus Dur suka tidur di lantai, saya mencoba untuk menelusuri manfaat tidur di lantai ditinjau dari aspek ilmu kesehatan jasmani. Ada beberapa artikel yang diangkat terkait manfaat tidur di lantai. Salah satunya diangkat oleh Mia Chitra Dinisari (2016) di Bisnis.Com yang diadaptasi dari Boldsky.Com, misalnya, menyatakan ada sembilan manfaat tidur di lantai, yaitu: (1) mencegah sakit punggung; (2) mencegah insomnia; (3) mencegah sakit bahu; (4) memperlancar sirkulasi darah; (5) lebih santai; (6) menyeimbangkan tulang pinggul; (7) mengurangi kegelisahan dan kelelahan; (8) mengurangi sakit sendi; (9) tidur lebih cepat.
Sementara itu, di Merdeka.Com Febrianti Diah Kusumaningrum (2014) mengangkat artikel bahwa ada empat manfaat tidur di lantai antara lain: (10) memperbaiki postur tubuh; (11) meningkatkan sirkulasi darah; (12) membersihkan pikiran; (13) meningkatkan kesegaran tubuh. Jika manfaat tidur di atas lantai menurut tinjauan ilmu kesehatan jasmani di atas terbukti kebenarannya, hal ini bisa saja dipergunakan untuk memahami bahwa "kedayatahanan" tubuh Gus Dur dalam memenuhi aktivitas yang padat dapat "terelaksasikan" dengan baik melalui tidur di lantai.
Menghindari Santet
Selain ditinjau dari aspek ilmu kesehatan jasmani, ada juga yang tak kalah menariknya, yaitu meninjau tidur di atas lantai menurut ilmu santet. Menurut banyak informasi, tidur di lantai dapat menghindarkan seseorang dari serangan santet atau serangan ilmu hitam lainnya. Menurut tinjauan ilmu santet, mahluk halus itu melayang sekitar 10-15 cm di atas tanah. Jin, demit, setan, dan para lelembut lainnya konon tidak mau menginjak tanah karena sifatnya yang berlawanan. Tanah/bumi mempunyai energi positif, sedangkan lelembut tercipta dari api. Karena itu, para lelembut akan merasa kesakitan jika terkena tanah. Sedangkan serangan santet dan kejahatan gaib lainnya konon menggunakan tenaga para lelembut itu. Untuk itu, serangan kejahatan ilmu hitam ini biasanya berjarak 50 cm di atas tanah. Dengan demikian, agar seseorang terhindar dari bahaya santet dan kejahatan gaib lainnya sebaiknya tidur di lantai.
Lantas apa kaitan Gus Dur dengan santet atau serangan kejahatan gaib ini? Saya teringat pada pidato beliau ketika kami dari Jamiyah Mudarasah Alquran (JMQ), Keluarga Mahasiswa Jawa Timur di Jakarta yang berasal dari PTIQ dan IIQ Jakarta, usai khataman Alquran di kediaman Ciganjur pada tahun sekitar 1997. Waktu itu, beliau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas khataman Alquran di kediaman beliau. Rumah ini, kata beliau, sering mendapat serangan-serangan gaib seperti santet dan lain sebagainya. Oleh karena itu dengan adanya khataman Alquran ini, beliau berharap rumah ini menjadi lebih aman. Informasi ini memberikan pertanda bahwa santet dan sejenisnya sering mengancam Gus Dur atau keluarganya. Apakah dengan demikian, Gus Dur tidur di lantai adalah untuk menghindari santet dan sejenisnya? Lantas kenapa Gus Dur sering terancam santet dan sejenisnya?
Gus Dur adalah pemimpin besar kaum santri terbesar di Indonesia. Beliau ditakdirkan menjadi anak, cucu, dan kerabat para kiai besar di Jawa. Selaku tokoh agama, Gus Dur bisa saja dianggap sebagai orang sakti, sehingga perlu diuji coba oleh orang-orang yang sakti pula. Salah satu alat pengujinya adalah serangan gaib. Itu kemungkinan pertama.
Kedua, selaku tokoh nasional yang sering mengkritik kebijakan dan politik Orde Baru pada masa itu, Gus Dur dianggap oleh penguasa saat itu sebagai pengganggu stabilitas nasional. Oleh karena itu, para pengganggu harus "dibereskan", salah satunya dengan alat santet atau sejenisnya. Ketiga, Gus Dur sebagai pemimpin politik kemungkinan dianggap sebagai musuh oleh orang-orang tertentu yang harus dikalahkan. Salah satu upaya untuk menundukkan adalah membuatnya tidak berdaya, dengan cara disantet.
Setidaknya dari ketiga hal di atas dapat dijadikan untuk memahami bahwa Gus Dur tidur di lantai juga dalam rangka menghindari dari serangan santet dan sejenisnya. Namun ini semua masih dugaan-dugaan semata yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Masalahnya kepada siapa? Monggo silahkan.
*Penulis adalah Jamaah NU Miring.
Post a Comment