Fatwa tanpa "Istikhara"
Umat Islam memiliki mekanisme fatwa sebagai terobosan
atas kebuntuhan hukum. Perkembangan dan perubahan kehidupan dunia telah
melahirkan perkara-perkara yang berimplikasi pada kebutuhan dasar hukum menurut
syar’i. Dalil-dalil naqli, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yang sebagian bersifat
mujmal tidak dapat diterapkan begitu saja terhadap perkara-perkara baru
tersebut. Bahkan para ulama sebelumnya juga belum pernah membahas perkara
tersebut. Walaupun ada pembahasan, kadang konteks dan kondisinya berbeda dengan perkara
sebelumnya. Padahal hal ini menyangkut perkara keagamaan yang harus dijawab
agar umat Islam tidak melanggar syar’i. Fatwa menjadi kebutuhan umat Islam agar
tetap dapat menjalankan perintah dan menghindari larangan Tuhan dalam perubahan
zaman.
Fatwa merupakan
produk dari proses penggalian hukum atas perkara yang diajukan. Tidak semua
umat Islam memiliki kemampuan memahami hukum dan melakukan penggalian
hukum secara mandiri. Orang-orang yang memiliki kemampuan ini jumlahnya sangat
sedikit dibandingkan dengan jumlah pemeluk agama Islam. Orang-orang ini
memiliki kualifikasi dan kompetensi khusus yang tidak mudah didapatkan orang
lain. Tidak cukup sekadar bisa berbahasa Arab, tetapi juga menguasai berbagai
literatur keagamaan, khususnya di bidang hukum-hukum Islam. Karena itu,
masyarakat umum yang merasa atau menghadapi persoalan hukum Islam dapat
mengajukan fatwa kepada pihak-pihak yang memiliki kompetensi tersebut.
Di Indonesia, permohonan fatwa dapat diajukan masyarakat
melalui lembaga-lembaga keagamaan tertentu, seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Muhammadiyah, atau Nahdlatul Ulama (NU). Lembaga-lembaga keagamaan
tersebut memang menghimpun para ulama atau orang-orang yang memiliki kompetensi
khusus. Dalam lembaga tersebut terdapat unit atau bagian khusus yang menangani
pertanyaan-pertanyaan masyarakat terkait hukum berdasarkan ajaran Islam. Di MUI
terdapat Komisi Fatwa, di Muhammadiyah terdapat Majelis Tarjih, dan di NU
terdapat Lembaga Bahsul Masail. Masing-masing memiliki mekanisme dalam menjawab
perkara yang diajukan masyarakat. Selain itu, ada juga pondok pesantren atau
kumpulan pondok pesantren atau kumpulan orang-orang alumni pesantren yang
berusaha untuk menggali hukum suatu perkara baru melalui bahsul masail. Mereka
memutus atau menilai suatu perkara berdasarkan hukum Islam.
Permasalahannya adalah hukum Islam merupakan
hukum yang berhubungan dengan penerimaan Allah terhadap suatu perbuatan
manusia. Dengan demikian, fatwa merupakan suatu penjelasan atau putusan ulama
atau orang-orang yang memiliki kompetensi khusus tersebut, baik individu atau
kelompok, yang berisi penilaian bahwa suatu perkara dapat diterima atau tidak
oleh Allah swt. Pertanyaannya, apakah penilaian para ulama atau orang-orang
berkomptensi khusus memiliki keakuratan tinggi? Bagaimana cara mengukurnya? Dan
Bagaimana konsekuensi jika penilaiannya jauh dari akurat?
Sejarah fatwa telah berlangsung panjang sejak Rasulullah
SAW wafat. Berbagai perkara telah bermunculan sejak para khalifah atau
pengganti Rasulullah memimpin. Pada masa Rasulullah masih ada, semua perkara
langsung bisa ditanyakan. Namun ketika Rasulullah sudah tiada, para sahabat
mengingat sabda-sabda Rasulullah selain mengacu pada Al-Qur’an. Namun
kenyataannya tidak semua perkara memiliki kasus khusus yang sesuai persis
dengan yang pernah terjadi sebelumnya. Atau ada juga suatu perkara yang
memiliki petunjuk jawaban dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, namun tidak tunggal dan
membingungkan. Dalam kondisi yang demikian, ada pintu darurat yang memberikan
jalan keluar bagi umat Islam. Ada hadis yang menunjukkan bahwa apabila suatu
perkara tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis diperkenankan untuk
berijtihad.
Ada beragam metode ijtihad yang dipergunakan
para ulama untuk menilai apakah suatu perbuatan atau perkara sesuai dengan
perintah atau larangan Allah swt. Di antara metode-metode itu adalah: Ijma’,
Qiyas, Istislah, Istidlal, dan lain-lain. Tentu saja, metode-metode tersebut
bukan sembarang metode. Metode itu sendiri juga merupakan hasil ijtihad yang
didasarkan pada pemahaman terhadap wahyu atau nash. Dan tentu saja, ada orang
yang bisa menerima atau menolak metode yang dipergunakan seseorang. Penggunaan
metode ini juga disesuaikan dengan perkara yang ada.
Bagaimana pun, setiap ijtihad dan fatwa adalah
pemahaman. Setiap mujtahid (orang yang berijtihad) atau mufti (orang yang
berfatwa) berusaha untuk memahami perkara atau pertanyaan yang diajukan. Setelah
memahami perkara, para mujtahid atau mufti akan teringat berbagai dalil nash
dan pendapat (fatwa) yang pernah muncul sebelumnya. Perkara akan dianalisis
berdasarkan dalil-dalil atau pendapat yang sudah ada. Seorang mujtahid atau
mufti telah memiliki pemahaman terlebih dahulu atas dalil-dalil nash dan pendapat
yang telah ada. Berdasarkan pemahaman atas perkara dan dalil atau pendapat
sebelumnyalah seorang mujtahid atau mufti memberikan penjelasan atau penilaian
terhadap perkara tersebut.
Benar atau salahnya suatu penilaian atau fatwa
yang dihasilkan seorang mujtahid atau mufti didasarkan pada pemahaman atas
dalil-dalil nash yang dijadikan sebagai standar untuk menilai suatu perkara.
Kehati-hatian seorang mujtahid dan mufti dalam memberikan pertimbangan juga
didasarkan pada keluasan wawasan yang dimiliki seorang mujtahid atau mufti.
Bertentangan atau tidaknya hasil ijtihad atau
fatwa dengan prinsip-prinsip umum nash juga dapat dijadikan sebagai salah satu
standar untuk menilai benar atau salahnya penilaian. Para ulama sebelumnya
telah membuat berbagai rumusan prinsip atau kaidah penilaian, yang didasarkan
pada pemahaman bahwa syariat Islam bertujuan untuk mencegah kerusakan dan
menegakkan kemaslahatan secara adil dan memberikan kasih sayang bagi semesta. Tanpa
harus menguasai secara detail terhadap isi nash, pada dasarnya masyarakat dapat
menilai bahwa suatu fatwa bertentangan atau tidak dengan nash atas dasar
prinsip umum nash yang berujung pada terjadinya tercegahnya kerusakan dan
terciptanya kemaslahatan bagi semesta.
Orang-orang yang dirugikan oleh suatu fatwa
tentu sejumlah para penjahat yang sangat sedikit. Sebaliknya, apabila yang
dirugikan oleh suatu fatwa adalah banyak orang atau bahkan justru dapat menimbulkan
keresahan, kerusuhan, atau kerusakan bisa jadi fatwa tersebut perlu ditinjau
kembali. Fatwa yang baik, sebagaimana tujuan syariat, tentu mencegah terjadinya
keresahan, kerusuhan, dan kerusakan, dan sebaliknya justru menimbulkan
kebahagian bagi semesta.
Terkadang suatu fatwa terpaksa dikeluarkan
karena kondisi yang mendesak dan dibangun secara kurang hati-hati. Dalil-dalil
nash dan/atau pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan sebagai sandaran penilaian
dibangun melalui pemahaman-pemahaman sempit dan asal ada. Padahal suatu perkara
bisa jadi tidak dapat diputus atau dinilai dengan dalil-dalil nash atau
pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap masuk akal saat itu. Oleh
karena itu, mujtahid atau mufti seyogyanya tidak hanya mengandalkan pengetahuan
atau pemahaman berdasarkan kompetensinya semata, tetapi juga benar-benar memohon
petunjuk kepada Allah swt agar diberikan jawaban yang terbaik atau “istikhara”.
Pendapat Imam Malik yang berbunyi bahwa “barangsiapa
yang bertafaquh namun tidak bertasawuf adalah fasik, bertasawuf namun tidak bertafaquh adalah
zindik, dan barangsiapa yang menyatukan keduanya adalah orang berhakikat”
tampaknya harus dijadikan sebagai bagian dari mekanisme berijtihad. Seorang
mujtahid atau mufti harus beristikhara, atau meminta bantuan kepada orang-orang
yang dekat dengan Allah, agar mendapat petunjuk atau pemahaman yang dikehendaki
Allah swt sebelum memutus suatu perkara. Sebab fatwa adalah produk hukum atasnama
Allah. Fatwa tanpa “istikhara” justru berpotensi merusak agama Allah.
Memang, ijtihad yang salah dapat pahala satu
dan ijtihad yang benar dapat pahala dua. Akan tetapi, ijtihad bukan hanya
mengandalkan pengetahuan dan pemahaman seseorang. Namun juga harus
bersungguh-sungguh memohon kepada Allah untuk mendapatkan petunjuk yang
terbaik.
Wallahu a’lam bi asshawab.
Post a Comment