Cinta dan Kesamaan
Ahaa.. ingin rasanya menyambung lead Cak Ipin pagi ini. Dia mengutip ungkapan Sapardi bahwa burung hanya mencintai sayapnya sendiri, mengagumi terbangnya sendiri.
Ungkapan tersebut mengingatkan saya pada pernyataan Pak Darwis Hude beberapa tahun yang lalu di PTIQ. Kurang lebih dia menyatakan bahwa pada dasarnya manusia cenderung mencintai dirinya sendiri. Dia menunjukkan bukti bahwa setiap hari kita mengaca di cermin. Entah berapa kali dalam sehari kita bercermin. Pernyataan Pak Darwis yang pernah mendalami psikologi itu memperkuat makna dari majaz yang dibuat oleh Sapardi yang seorang penyair.
Waduh, saya jadi bingung, mau bicara soal sastra atau masalah perilaku manusia? Hehehe... Campur sajalah.
Dari sisi kesusasteraan, perumpamaan yang dibuat oleh Sapardi menunjukkan bahwa sastra itu memberikan refleksi yang mendalam terhadap perilaku manusia. Sastra bukanlah persoalan yang berada di luar kebudayaan manusia. Memang, dalam kesusasteraan manusia adalah tuhan atas karyanya. Dia berhak menghidupkan dan mematikan atas aktor atau benda yang diinginkan. Kesusasteraan memiliki logikanya sendiri. Karena itu dalam bahasa dia diberi hak privilege, yang biasa disebut "Licentia Poetica". Lisensi puitis ini yang tidak bisa digugat oleh saintis.
Namun kolaborasi sains dan sastra tampaknya sangat diharapkan oleh publik. Kita, tentu berharap membaca sastra bukan hanya omong kosong, karena terjebak dalam mengejar citra estetika, tetapi tidak bergizi sama sekali. Sebaliknya, kita juga berharap membaca ilmu-ilmu pengetahuan yang menghibur, sehingga untuk mengetahui sesuatu tidak harus lelah karena terjebak pada uraian yang tidak rinci dan membosankan.
Beberapa novel, puisi, dan cerpen tampaknya sudah ada melakukan ini. Puisi-puisi, Arab khususnya, banyak yang digunakan sebagai media untuk membangun kaidah atau teori yang bisa dihapalkan. Saya kira tidak sedikit novel yang juga dipergunakan untuk menjelaskan hukum-hukum, konsep-konsep, dan teori-teori ilmu pengetahuan.
Nah, arah pembahasannya sudah berada di luar kontrol rencana. Hahaha.. Begitulah isi blog ini. Isinya campur aduk, perspektifnya gado-gado. Tidak jelas antara kemauan dan tindakannya.
Baik, kembali ke ide bahwa manusia mencintai dirinya sendiri. Fakta yang ditunjukkan oleh Psikolog bahwa ciri-ciri orang mencintai dirinya sendiri adalah orang tersebut selalu merindukan dirinya sendiri. Dia berkaca untuk memastikan bahwa berbagai bagian dirinya telah tampak sempurna. Mungkin ini yang juga disebut sebagai "Narsis".
Pertanyaannya, kalau dia mencintai dirinya sendiri, apakah dia tidak mencintai orang lain? Kenyataannya, banyak orang mencintai orang lain karena ada persamaan-persamaan dengan dirinya sendiri. Ada orang mencintai pasangannya karena bentuk matanya ada kesamaan dengan bentuk matanya sendiri yang tiap hari dilihatnya. Mungkin dia tidak menyadari sepenuhnya ada kesamaan bentuk mata atau alis atau bibir atau lekukan di antara mata dan hidung dan sebagainya. Bisa jadi kemiripan yang disukai itu sangat tersembunyi, sampai-sampai dia sendiri kurang menyadarinya.
Mungkin karena gagasan tentang mencintai diri sendiri dan kemiripan atau kesamaan itulah banyak pasangan yang memiliki kemiripan wajah atau lainnya. Kalau ditarik dalam skala yang lebih luas, seperti apakah ada pertimbangan orang untuk bersatu tanpa melihat aspek persamaan atau kemiripan? Sejauh mana batas persamaan itu menjadi bencana perpecahan?
Teori apa pun tentang konflik dan integrasi, saya kira, tidak bisa lepas dari faktor atau kata kunci "kesamaan". Ketika persamaan-persamaan antara dua belah pihak lebih kecil daripada perbedaannya, potensi yang paling mungkin adalah konflik dan perpecahan. Dalam hal cinta, banyak orang yang terjebak pada setitik persamaan dan mengabaikan gelombang perbedaannya. Kadang dia hanya menemukan persamaan secara fisiologis, tetapi tidak menemukan persamaan yang besar dari unsur psikologis. Namun ini baru sekadar refleksi yang tidak diuji secara ilmiah. Siapa yang bertugas meneliti ini? Antropolog atau psikolog? Keduanya juga boleh.
Ungkapan tersebut mengingatkan saya pada pernyataan Pak Darwis Hude beberapa tahun yang lalu di PTIQ. Kurang lebih dia menyatakan bahwa pada dasarnya manusia cenderung mencintai dirinya sendiri. Dia menunjukkan bukti bahwa setiap hari kita mengaca di cermin. Entah berapa kali dalam sehari kita bercermin. Pernyataan Pak Darwis yang pernah mendalami psikologi itu memperkuat makna dari majaz yang dibuat oleh Sapardi yang seorang penyair.
Waduh, saya jadi bingung, mau bicara soal sastra atau masalah perilaku manusia? Hehehe... Campur sajalah.
Dari sisi kesusasteraan, perumpamaan yang dibuat oleh Sapardi menunjukkan bahwa sastra itu memberikan refleksi yang mendalam terhadap perilaku manusia. Sastra bukanlah persoalan yang berada di luar kebudayaan manusia. Memang, dalam kesusasteraan manusia adalah tuhan atas karyanya. Dia berhak menghidupkan dan mematikan atas aktor atau benda yang diinginkan. Kesusasteraan memiliki logikanya sendiri. Karena itu dalam bahasa dia diberi hak privilege, yang biasa disebut "Licentia Poetica". Lisensi puitis ini yang tidak bisa digugat oleh saintis.
Namun kolaborasi sains dan sastra tampaknya sangat diharapkan oleh publik. Kita, tentu berharap membaca sastra bukan hanya omong kosong, karena terjebak dalam mengejar citra estetika, tetapi tidak bergizi sama sekali. Sebaliknya, kita juga berharap membaca ilmu-ilmu pengetahuan yang menghibur, sehingga untuk mengetahui sesuatu tidak harus lelah karena terjebak pada uraian yang tidak rinci dan membosankan.
Beberapa novel, puisi, dan cerpen tampaknya sudah ada melakukan ini. Puisi-puisi, Arab khususnya, banyak yang digunakan sebagai media untuk membangun kaidah atau teori yang bisa dihapalkan. Saya kira tidak sedikit novel yang juga dipergunakan untuk menjelaskan hukum-hukum, konsep-konsep, dan teori-teori ilmu pengetahuan.
Nah, arah pembahasannya sudah berada di luar kontrol rencana. Hahaha.. Begitulah isi blog ini. Isinya campur aduk, perspektifnya gado-gado. Tidak jelas antara kemauan dan tindakannya.
Baik, kembali ke ide bahwa manusia mencintai dirinya sendiri. Fakta yang ditunjukkan oleh Psikolog bahwa ciri-ciri orang mencintai dirinya sendiri adalah orang tersebut selalu merindukan dirinya sendiri. Dia berkaca untuk memastikan bahwa berbagai bagian dirinya telah tampak sempurna. Mungkin ini yang juga disebut sebagai "Narsis".
Pertanyaannya, kalau dia mencintai dirinya sendiri, apakah dia tidak mencintai orang lain? Kenyataannya, banyak orang mencintai orang lain karena ada persamaan-persamaan dengan dirinya sendiri. Ada orang mencintai pasangannya karena bentuk matanya ada kesamaan dengan bentuk matanya sendiri yang tiap hari dilihatnya. Mungkin dia tidak menyadari sepenuhnya ada kesamaan bentuk mata atau alis atau bibir atau lekukan di antara mata dan hidung dan sebagainya. Bisa jadi kemiripan yang disukai itu sangat tersembunyi, sampai-sampai dia sendiri kurang menyadarinya.
Mungkin karena gagasan tentang mencintai diri sendiri dan kemiripan atau kesamaan itulah banyak pasangan yang memiliki kemiripan wajah atau lainnya. Kalau ditarik dalam skala yang lebih luas, seperti apakah ada pertimbangan orang untuk bersatu tanpa melihat aspek persamaan atau kemiripan? Sejauh mana batas persamaan itu menjadi bencana perpecahan?
Teori apa pun tentang konflik dan integrasi, saya kira, tidak bisa lepas dari faktor atau kata kunci "kesamaan". Ketika persamaan-persamaan antara dua belah pihak lebih kecil daripada perbedaannya, potensi yang paling mungkin adalah konflik dan perpecahan. Dalam hal cinta, banyak orang yang terjebak pada setitik persamaan dan mengabaikan gelombang perbedaannya. Kadang dia hanya menemukan persamaan secara fisiologis, tetapi tidak menemukan persamaan yang besar dari unsur psikologis. Namun ini baru sekadar refleksi yang tidak diuji secara ilmiah. Siapa yang bertugas meneliti ini? Antropolog atau psikolog? Keduanya juga boleh.
Jeruuuu...
BalasHapusKelebihan Arab mereka punya Pasar Ukadz, tempat penyair dari semua kabilah bertanding setiap jumat.. Umar bin Khattab salah satu jagoannya..