Siapa Yang Menulis Buku Pelajaran SD?
Mbak Ana Mustamin memosting foto berisi materi pelajaran SD kelas 4. Dia menunjukkan kepada kami, teman-teman facebook, mengenai betapa berat materi pelajaran yang diberikan kepada anak-anak SD. Postingan seperti ini bukanlah yang pertama kali. Bahkan ada satu blog yang dilihat dari namanya saja menunjukkan betapa susahnya pelajaran SD. http://pelajaransdkokyasusahgini.blogspot.com.
Dalam tulisan lalu yang berjudul "Madzhab Kunci" saya lebih menyoroti kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran. Kali ini saya tertarik untuk mengomentari penulis materi pelajaran. Karena kasus semacam ini seringkali terjadi. Lihat saja tulisan dalam foto yang diposting oleh mbak Ana. Tentu saja banyak komentar dalam postingan tersebut. Salah satunya ada juga yang menyorot penulisnya.
Kenapa penulisnya? Dan kenapa saya tertarik mengomentari penulisnya? Kenapa bukan kurikulumnya? Sebelum memaki pejabat yang berwenang, sebaiknya kita memaki penulisnya dulu. Dialah eksekutor terhadap produk pelajaran tersebut. Mestinya dia mengaca pakai kaca cermin cembung biar tahu bahwa dirinya tak pantas menulis pelajaran SD.
Selaku penulis, dia seharusnya tahu bahwa tulisannya itu dipakai untuk apa dan siapa? Kalau tidak pernah belajar tentang psikologi anak, tidak pernah tahu tentang pendidikan, tidak pernah tahu tentang bahasa Indonesia yang baik, mestinya mundur. Menolak permintaan tukang proyek pengadaan buku ajar untuk menuliskannya. Menulis buku pelajaran SD memang tampak sepele. Tapi jangan menyepelekannya. Mentang-mentang mahasiswa atau sarjana, seenaknya sendiri menulis pelajaran SD.
Padahal, menulis buku pelajaran SD, apalagi untuk TK butuh kompetensi khusus. Butuh pemikiran yang jauh, mau dibawa ke mana anak-anak ini. Satu kata pun harus benar-benar ditimbang fungsi, makna, susunan huruf yang terangkat dalam kata itu, maupun asosiasi dan implikasinya. Apa makna dan fungsi kata "Ideologi" bagi anak SD kelas 4? Biar terkesan intelektual seperti penulisnya?
Jangan-jangan "penulis"nya sendiri tidak tahu apa yang ditulis, seperti kasus penulisan buku ajar kelas 6 SD yang mengandung unsur pornografi. (lihat berita ini). Ternyata, cerpen karya mas Dedy Tri Riyadi dikopi-tempel, tanpa pembacaan terlebih dahulu. Penulis cerpennya sendiri juga tidak dikonfirmasi.
Kenapa saya memaki-maki seperti ini? Saya punya contoh cukup ideal mengenai penulisan buku ajar ini, yaitu buku Kesadaran Berkonstitusi, terbitan Mahkamah Konstitusi tahun 2006. Penyusun buku ini bukan orang sembarang. Reviwernya juga serius. Saya tahu dan kenal orang-orangnya, mereka benar-benar bekerja. Bukan sekadar tempel nama.
Dalam tulisan lalu yang berjudul "Madzhab Kunci" saya lebih menyoroti kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran. Kali ini saya tertarik untuk mengomentari penulis materi pelajaran. Karena kasus semacam ini seringkali terjadi. Lihat saja tulisan dalam foto yang diposting oleh mbak Ana. Tentu saja banyak komentar dalam postingan tersebut. Salah satunya ada juga yang menyorot penulisnya.
Kenapa penulisnya? Dan kenapa saya tertarik mengomentari penulisnya? Kenapa bukan kurikulumnya? Sebelum memaki pejabat yang berwenang, sebaiknya kita memaki penulisnya dulu. Dialah eksekutor terhadap produk pelajaran tersebut. Mestinya dia mengaca pakai kaca cermin cembung biar tahu bahwa dirinya tak pantas menulis pelajaran SD.
Selaku penulis, dia seharusnya tahu bahwa tulisannya itu dipakai untuk apa dan siapa? Kalau tidak pernah belajar tentang psikologi anak, tidak pernah tahu tentang pendidikan, tidak pernah tahu tentang bahasa Indonesia yang baik, mestinya mundur. Menolak permintaan tukang proyek pengadaan buku ajar untuk menuliskannya. Menulis buku pelajaran SD memang tampak sepele. Tapi jangan menyepelekannya. Mentang-mentang mahasiswa atau sarjana, seenaknya sendiri menulis pelajaran SD.
Padahal, menulis buku pelajaran SD, apalagi untuk TK butuh kompetensi khusus. Butuh pemikiran yang jauh, mau dibawa ke mana anak-anak ini. Satu kata pun harus benar-benar ditimbang fungsi, makna, susunan huruf yang terangkat dalam kata itu, maupun asosiasi dan implikasinya. Apa makna dan fungsi kata "Ideologi" bagi anak SD kelas 4? Biar terkesan intelektual seperti penulisnya?
Jangan-jangan "penulis"nya sendiri tidak tahu apa yang ditulis, seperti kasus penulisan buku ajar kelas 6 SD yang mengandung unsur pornografi. (lihat berita ini). Ternyata, cerpen karya mas Dedy Tri Riyadi dikopi-tempel, tanpa pembacaan terlebih dahulu. Penulis cerpennya sendiri juga tidak dikonfirmasi.
Kenapa saya memaki-maki seperti ini? Saya punya contoh cukup ideal mengenai penulisan buku ajar ini, yaitu buku Kesadaran Berkonstitusi, terbitan Mahkamah Konstitusi tahun 2006. Penyusun buku ini bukan orang sembarang. Reviwernya juga serius. Saya tahu dan kenal orang-orangnya, mereka benar-benar bekerja. Bukan sekadar tempel nama.
Beneran tuh?
BalasHapusKepala sekolah SD SE kecamatan aja gak tahu ideologi itu apa.
Hahaha.. mangkane
Hapus