Mimpi Berharap kepada Negara
Ketika negara dibentuk sebagai
wujud kesepakatan bersama, maka negara pun diselenggarakan melalui kesepakatan
bersama pula. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Menteri (Permen), dan seterusnya merupakan wujud dari kesepakatan bersama tersebut. Dari berbagai
aturan perundang-undangan itu pula menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh
berbuat, bertindak, atau mengambil keputusan sekehendaknya sendiri tanpa ada aturan
yang memerintahkannya.
Sebagaimana dalam Pembukaan UUD
1945, tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Tujuan tersebut tampak luas sekali cakupannya ketika kita mencoba untuk
menguraikan konsep-konsep besar dalam tujuan tersebut. Misal, apa yang dimaksud
dengan “melindungi”, “segenap bangsa”, “seluruh tumpah darah”, “memajukan”, “kesejahteraan
umum”, “mencerdaskan”, dan seterusnya?
Tafsir pemerintahan negara
terhadap masing-masing konsep bertanda petik di atas tampaknya sangat beragam. Saya sendiri belum
menemukan konsep-konsep tersebut dijabarkan secara jelas sesuai dengan cara
pandang bangsa Indonesia sendiri. Apalagi keragaman orang Indonesia sangat luar
biasa. Saya tidak yakin betul apakah 560 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan 132 orang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mampu menyerap, merumuskan,
dan menguraikan konsep-konsep besar tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh
seluruh lapisan penghuni negara ini. Tentu saja, “kemajuan” versi masyarakat
Jakarta dengan “kemajuan” versi masyarakat Papua, Aceh, Lombok, dan sebagainya
berbeda. Apalagi konsep “perlindungan”. Tentu berbeda “perlindungan” warga
negara yang masih anak-anak dengan yang sudah remaja, dewasa, dan lanjut usia. Apalagi
hal-hal ini dikaitkan dengan konsep “keadilan” yang menjadi dasar atas seluruh
peraturan perundang-undangan yang ada, yaitu Pancasila.
Ketika DPR (legislatif) bersama
pemerintah (eksekutif) berhasil merumuskan sebuah undang-undang, yang berarti
mencoba menjabarkan “sedikit” dari sebagian konsep-konsep besar di atas, dan di
sini juga masih cukup meragukan lagi apakah undang-undang yang dihasilkan itu
sudah benar-benar sesuai dengan harapan, mampu didetailkan lagi oleh pemerintah
dalam wujud program dan kegiatan sesuai dengan yang dimaksudkan. Pemerintah
tampaknya sangat terjebak dengan ukuran-ukuran teknis dalam menjalankan program
dan kegiatan, apakah itu kemampuan anggaran, kemampuan pelaksana, maupun wujud
program dan kegiatan itu sendiri. Pemerintah dengan berbagai macam orang di
dalamnya, kadang hanya melihat program dan kegiatannya sendiri seperti menonton
televisi, yang tidak bisa mempengaruhi alur cerita yang sedang berjalan. Kadang
saya melihat berharap kepada negara dengan kondisi saat ini adalah mimpi yang
sebetul-betulnya mimpi atau khayalan tingkat tinggi. Apakah mungkin negara bisa
mewujudkan mimpinya?
Kalau kembali ke persoalan paling
mendasar, bahwa tidak ada orang yang berhak untuk memerintah kecuali
berdasarkan kesepakatan bersama, baik itu melalui pemilihan umum (pemilu)
kepala negara/daerah/perwakilan, pengangkatan pejabat (menteri/kepala
badan/lembaga) oleh orang-orang yang dipilih melalui pemilu, dan pengangkatan
pekerja-pekerja oleh orang-orang yang diangkat sebagai pejabat, dan seterusnya,
maka harapan mutlak untuk bisa mewujudkan mimpi negara tersebut memang harus
bertumpu kepada mereka. Karena itu, mereka harus diawasi jangan sampai
melakukan penyelewengan (korup) dari segala aturan yang dibuat berdasarkan
kesepakatan. Karena itu pula, sebuah peraturan perundang-undangan tidak bisa
hanya dibuat oleh salah seorang atau salah sekelompok saja.
Persoalannya, walaupun
orang-orang yang dipilih atau diangkat ini memiliki keabsahan untuk merumuskan,
menetapkan, menjalankan, dan memerintahkan konsep-konsep besar mimpi negara,
tetapi apakah mereka benar-benar bermusyawarah untuk membuat aturan,
jangan-jangan aturan itu hanya buatan seseorang yang ingin memuluskan keinginan
pribadinya saja? Apakah mereka benar-benar tahu apa yang mereka kerjakan itu
merupakan pelaksanaan dari hasil rumusan bersama, jangan-jangan mereka hanya
melaksanakan pekerjaan pribadi-pribadi tertentu saja?Apakah mereka benar-benar
mengawasi apa yang dijalankan para pejabat/pegawai sesuai dengan rumusan yang
disepakati bersama, jangan-jangan mereka mengawasi pekerjaannya saja tanpa ada
perbandingan atau penilaian terhadap apa yang dikerjakan?
Kalau melihat hasil dari
pelaksanaan cita-cita negara, kita ini tampak terus masih terus belajar dan tak
kunjung menemukan hasilnya. Kita tampak masih terus belajar, tanpa pernah
diuji. Maka berharap kepada negara tampaknya harus dilakukan dengan pengujian. Siapa
yang menguji? Warga negaranya sendiri. Walah... serius sekali tulisan hari
ini... hahaha..
Post a Comment