Melanjutkan Penjajahan
Apa yang Anda bayangkan tentang penjajahan setelah mendengar cerita-cerita atau sekilas sejarah kolonialisme di negara ini? Saya menduga kesan yang saya tangkap tidak jauh berbeda dengan yang dibayangkan kebanyakan orang. Penjajahan dalam bayangan saya sejak kecil adalah serombongan tentara asing datang, memasang tampang seram, menenteng senjata laras panjang, berseragam, mendatangi rumah-rumah penduduk, memaksa keluar rumah untuk bekerja. Bagi orang yang membangkang akan dibentak-bentak, dipukuli, ditembak, dan seterusnya. Begitulah rata-rata film-film mencitrakan penjajahan di negeri ini.
Setelah saya renung-renungkan, melihat foto-foto, atau baca-baca buku sejarah, gambaran penjajahan yang ditayangkan dalam film-film tampaknya jauh dari realitas yang saya bayangkan. Bisa jadi, dalam fakta sejarah memang ada peristiwa-peristiwa kekejaman seperti yang tergambar dalam film-film berdurasi pendek itu. Namanya juga cerita atau film, tentu sisi tertentu saja yang dimunculkan untuk menandai sebuah peristiwa besar. Meski pun sebenarnya tidak sesederhana yang tayang di hadapan penonton.
Problem membaca sejarah, saya kira, di antaranya problem imajinasi ruang dan waktu. Penyederhanaan terhadap fenomena-fenomena atau proses-proses tindakan dan ungkapan memang membuat kita lebih mudah memahami apa yang terjadi sebenarnya, namun juga tidak jarang menghasilkan pemahaman terhadap suatu peristiwa secara terputus-putus. Padahal, dimensi psikologis dan antropologis, misalnya, memiliki peran penting dalam yang membuat seorang tokoh bisa atau berani mengambil keputusan untuk bicara atau bergerak. Penafsiran dimensi psikologis dan antropologi dalam membaca sejarah tampaknya memang sangat penting.
Membayangkan hidup di masa penjajahan, bisa jadi sebenarnya suasananya sama saja dengan suasana masa sekarang. Walaupun ada perbedaan dalam hal-hal tertentu, tapi dengan sedikitnya peristiwa perlawanan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang terjadi pada masa itu, menunjukkan suasana pada masa itu tidak jauh berbeda dengan saat ini. Bagaimana pun, wujud penjajahan pada akhirnya lebih banyak berupa kebijakan, pengaturan, penataan, dan sebagainya yang tidak menunjukkan rupa orang-orang asing yang memaksa masyarakat pribumi secara fisik atau verbal sambil menodongkan pipa senjata api.
Di era sekarang perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan, peraturan, dan pemimpin juga ada, tetapi mereka dalam konteks yang seperti apa? Apa bedanya dengan perlawanan para pahlawan bersama para pendukungnya pada masa itu? Tentu saya ingin membedakan perlawanan itu dengan peperangan, di mana dalam peperangan terdapat aturan tersendiri. Katakanlah pada masa penjajahan terdapat perlawanan sambil membawa senjata, seperti keris, parang, atau lainnya, apa bedanya dengan sekarang?
Sering saya berpikir bahwa ternyata penjajahan itu sebenarnya tidak pernah pergi dari negeri ini. Karakteristik orang-orang yang kita sebut sebagai penjajah pada masa itu, sebenarnya sama saja dengan penguasa-penguasa saat ini. Mereka mengatur, mengeluarkan kebijakan, dan sebagainya dengan semangat, cara berpikir dan cara kerja para penjajah dahulu. Mereka ingin memperbaiki kehidupan rakyat agar kehidupan mereka juga lebih baik secara berlipat ganda. Penjajah membuat dam, membuat jalan, dan seterusnya memang seakan-akan demi memperbaiki kehidupan rakyat, tetapi sebetulnya pemereka ingin melipatgandakan keuntungan mereka.
Penjajahan adalah problem ekonomi dan politik. Penjajah lebih berorientasi pada ekonomi melalui politik. Melalui politik mereka mengatur pipa yang menyalurkan harta dan kekayaan dari rakyat kepada dirinya sendiri. Untuk memasang instalasi pipa kekayaan memang tidak muda, karena itu diperlukan kerjasama yang kuat antar anggota penjajah.
Jangan dikira dalam penjajahan tidak ada problem korupsi seperti sekarang. Justru jangan-jangan negeri ini sebenarnya juga mewarisi atau bahkan sedang menghidupkan kembali kultur dan sistem penjajahan, termasuk keburukan-keburukannya.
Setelah saya renung-renungkan, melihat foto-foto, atau baca-baca buku sejarah, gambaran penjajahan yang ditayangkan dalam film-film tampaknya jauh dari realitas yang saya bayangkan. Bisa jadi, dalam fakta sejarah memang ada peristiwa-peristiwa kekejaman seperti yang tergambar dalam film-film berdurasi pendek itu. Namanya juga cerita atau film, tentu sisi tertentu saja yang dimunculkan untuk menandai sebuah peristiwa besar. Meski pun sebenarnya tidak sesederhana yang tayang di hadapan penonton.
Problem membaca sejarah, saya kira, di antaranya problem imajinasi ruang dan waktu. Penyederhanaan terhadap fenomena-fenomena atau proses-proses tindakan dan ungkapan memang membuat kita lebih mudah memahami apa yang terjadi sebenarnya, namun juga tidak jarang menghasilkan pemahaman terhadap suatu peristiwa secara terputus-putus. Padahal, dimensi psikologis dan antropologis, misalnya, memiliki peran penting dalam yang membuat seorang tokoh bisa atau berani mengambil keputusan untuk bicara atau bergerak. Penafsiran dimensi psikologis dan antropologi dalam membaca sejarah tampaknya memang sangat penting.
Membayangkan hidup di masa penjajahan, bisa jadi sebenarnya suasananya sama saja dengan suasana masa sekarang. Walaupun ada perbedaan dalam hal-hal tertentu, tapi dengan sedikitnya peristiwa perlawanan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang terjadi pada masa itu, menunjukkan suasana pada masa itu tidak jauh berbeda dengan saat ini. Bagaimana pun, wujud penjajahan pada akhirnya lebih banyak berupa kebijakan, pengaturan, penataan, dan sebagainya yang tidak menunjukkan rupa orang-orang asing yang memaksa masyarakat pribumi secara fisik atau verbal sambil menodongkan pipa senjata api.
Di era sekarang perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan, peraturan, dan pemimpin juga ada, tetapi mereka dalam konteks yang seperti apa? Apa bedanya dengan perlawanan para pahlawan bersama para pendukungnya pada masa itu? Tentu saya ingin membedakan perlawanan itu dengan peperangan, di mana dalam peperangan terdapat aturan tersendiri. Katakanlah pada masa penjajahan terdapat perlawanan sambil membawa senjata, seperti keris, parang, atau lainnya, apa bedanya dengan sekarang?
Sering saya berpikir bahwa ternyata penjajahan itu sebenarnya tidak pernah pergi dari negeri ini. Karakteristik orang-orang yang kita sebut sebagai penjajah pada masa itu, sebenarnya sama saja dengan penguasa-penguasa saat ini. Mereka mengatur, mengeluarkan kebijakan, dan sebagainya dengan semangat, cara berpikir dan cara kerja para penjajah dahulu. Mereka ingin memperbaiki kehidupan rakyat agar kehidupan mereka juga lebih baik secara berlipat ganda. Penjajah membuat dam, membuat jalan, dan seterusnya memang seakan-akan demi memperbaiki kehidupan rakyat, tetapi sebetulnya pemereka ingin melipatgandakan keuntungan mereka.
Penjajahan adalah problem ekonomi dan politik. Penjajah lebih berorientasi pada ekonomi melalui politik. Melalui politik mereka mengatur pipa yang menyalurkan harta dan kekayaan dari rakyat kepada dirinya sendiri. Untuk memasang instalasi pipa kekayaan memang tidak muda, karena itu diperlukan kerjasama yang kuat antar anggota penjajah.
Jangan dikira dalam penjajahan tidak ada problem korupsi seperti sekarang. Justru jangan-jangan negeri ini sebenarnya juga mewarisi atau bahkan sedang menghidupkan kembali kultur dan sistem penjajahan, termasuk keburukan-keburukannya.
Post a Comment