Lihat Pakaiannya, Bayangkan Lainnya
Ada yang bilang, pakaian yang kita pakai adalah cermin dari jati diri kita. Misal, orang yang memakai pakaian kasual: kaos oblong, celana jeans, sepatu kats, dan bertopi menunjukkan bahwa orang tersebut adalah sosok yang santai, enggan dengan cara hidup formal, dan menyukai kehidupan yang dinamis. Apakah selalu begitu? Dan kenapa seseorang cenderung memilih karakter yang demikian?
Tafsir atas performen seseorang dengan melihat pakaiannya bisa jadi memang tepat, tapi tidak selalu tepat. Kadang, pakaian yang dipakai tersebut bukanlah pakaian pilihan orang itu sebenarnya. Bisa jadi pakai yang sedang dipakai adalah kamuflase belaka, karena dia ingin tampak berbeda. Namun, biasanya, pakaian yang dipakai orang tersebut justru melahirkan kesan yang berbeda sesuai dengan model atau bentuk tubuh pemakai. Kita kadang melihat ada orang yang menyukai jenis pakaian atau warna tertentu, yang kesannya dia ingin menunjukkan karakter tertentu, tetapi justru kita melihat karakter lain yang tidak dia harapkan.
Riwayat model, jenis, warna, dan apapun terkait dengan pakaian setiap orang saya kira bermacam-macam. Keluarga dan lingkungan memang memiliki peran penting bagi selera pakaian seseorang. Pakaian tampaknya memang bisa menunjukkan latar belakang kelas dan kelompok sosial tertentu, jika kita melihatnya sehari-hari secara natural, bukan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Namun, bisa juga kita menilai latar belakang asli orang tersebut melalui pakaiannya pada peristiwa-peristiwa penting, seperti pada acara menghadiri pernikahan atau bertamu pada orang-orang yang dihormati.
Di kampung kelahiran saya, pakaian khas lelaki sehari-hari adalah memakai sarung dan baju lengan panjang. Meski tampak sama, sebenarnya bisa juga kita melihat kelas sosial atau ekonominya dari bahan-bahan kainnya, yang bisa dilihat mereknya juga. Jangan dikira sarung yang dipakai masyarakat di sana tidak beragam. Tapi, tentu juga kita akan melihat tampak jor-joran pada saat lebaran, Jumatan, kundangan, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya. Dalam sekali pakai, harga pakaian sekujur tubuhnya kadang bisa mencapai Rp 1,5 juta.
Karena bersarung adalah pakaian standar sehari-hari di sana, kalau Anda memakai celana panjang, teman Anda akan bertanya, "Mau ke mana?". Tetapi kalau memakai pakaian lengkap: peci, baju lengan panjang, dan sarung, juga akan ditanya, "Mau ke mana?" juga. Tetapi situasi dan kondisi sekarang sudah berubah. Saya tidak tahu bagaimana perubahan yang sangat penting di sana. Yang jelas, kalau masih sekadar pakai jeans, kayaknya masih dianggap wajar.
Sedangkan pakaian khas perempuan di kampung halaman saya adalah jilbab, kemeja lengan panjang, rok panjang, dan ada juga yang menggabung menjadi longdress. Itu untuk kalangan muda. Untuk kalangan perempuan tua, bagian kepala ada yang memakai jilbab, ada yang memakai kerudung, ada juga yang memakai kupluk dan kerudung. Bagian badan menggunakan baju kebaya, dan bawahannya ada yang memakai rok, tetapi kebanyakan memakai jarik (kain panjang).
Saya masih ingat, ketika Aliyah, jika ada seorang perempuan remaja dan dewasa yang tidak berjilbab berjalan di jalan raya, mungkin hampir semua orang akan bertanya, "Orang mana itu?". Sebab, orang tidak berjilbab adalah sesuatu yang aneh. Walaupun mungkin orang asli kampung itu, tetapi karena kelamaan hidup di kota, sehingga tidak memakai jilbab, tetap saja anak-anak muda langsung spontan, "Arek endi iku reek?!!"
Ketika kampung kelahiran saya tampak seperti pesantren, jangan kaget jika ada juga peristiwa-peristiwa amoral di sana. Bukan berarti lelaki yang tiap hari tampak bersarung itu tidak pernah masuk diskotik atau tempat-tempat hiburan lainnya, walaupun sarungnya ditaruh dan ganti celana...
Banyak juga cerita dari tetangga bahwa gadis-gadis muda yang bila di kampung halamannya tampak tertutup rapat, begitu sudah berada di area tertentu, lepaslah sudah jilbab, dan rok panjangnya. Bahkan hampir semua telanjang ketika di kamar mandi... hehehe..
Tafsir atas performen seseorang dengan melihat pakaiannya bisa jadi memang tepat, tapi tidak selalu tepat. Kadang, pakaian yang dipakai tersebut bukanlah pakaian pilihan orang itu sebenarnya. Bisa jadi pakai yang sedang dipakai adalah kamuflase belaka, karena dia ingin tampak berbeda. Namun, biasanya, pakaian yang dipakai orang tersebut justru melahirkan kesan yang berbeda sesuai dengan model atau bentuk tubuh pemakai. Kita kadang melihat ada orang yang menyukai jenis pakaian atau warna tertentu, yang kesannya dia ingin menunjukkan karakter tertentu, tetapi justru kita melihat karakter lain yang tidak dia harapkan.
Riwayat model, jenis, warna, dan apapun terkait dengan pakaian setiap orang saya kira bermacam-macam. Keluarga dan lingkungan memang memiliki peran penting bagi selera pakaian seseorang. Pakaian tampaknya memang bisa menunjukkan latar belakang kelas dan kelompok sosial tertentu, jika kita melihatnya sehari-hari secara natural, bukan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Namun, bisa juga kita menilai latar belakang asli orang tersebut melalui pakaiannya pada peristiwa-peristiwa penting, seperti pada acara menghadiri pernikahan atau bertamu pada orang-orang yang dihormati.
Di kampung kelahiran saya, pakaian khas lelaki sehari-hari adalah memakai sarung dan baju lengan panjang. Meski tampak sama, sebenarnya bisa juga kita melihat kelas sosial atau ekonominya dari bahan-bahan kainnya, yang bisa dilihat mereknya juga. Jangan dikira sarung yang dipakai masyarakat di sana tidak beragam. Tapi, tentu juga kita akan melihat tampak jor-joran pada saat lebaran, Jumatan, kundangan, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya. Dalam sekali pakai, harga pakaian sekujur tubuhnya kadang bisa mencapai Rp 1,5 juta.
Karena bersarung adalah pakaian standar sehari-hari di sana, kalau Anda memakai celana panjang, teman Anda akan bertanya, "Mau ke mana?". Tetapi kalau memakai pakaian lengkap: peci, baju lengan panjang, dan sarung, juga akan ditanya, "Mau ke mana?" juga. Tetapi situasi dan kondisi sekarang sudah berubah. Saya tidak tahu bagaimana perubahan yang sangat penting di sana. Yang jelas, kalau masih sekadar pakai jeans, kayaknya masih dianggap wajar.
Sedangkan pakaian khas perempuan di kampung halaman saya adalah jilbab, kemeja lengan panjang, rok panjang, dan ada juga yang menggabung menjadi longdress. Itu untuk kalangan muda. Untuk kalangan perempuan tua, bagian kepala ada yang memakai jilbab, ada yang memakai kerudung, ada juga yang memakai kupluk dan kerudung. Bagian badan menggunakan baju kebaya, dan bawahannya ada yang memakai rok, tetapi kebanyakan memakai jarik (kain panjang).
Saya masih ingat, ketika Aliyah, jika ada seorang perempuan remaja dan dewasa yang tidak berjilbab berjalan di jalan raya, mungkin hampir semua orang akan bertanya, "Orang mana itu?". Sebab, orang tidak berjilbab adalah sesuatu yang aneh. Walaupun mungkin orang asli kampung itu, tetapi karena kelamaan hidup di kota, sehingga tidak memakai jilbab, tetap saja anak-anak muda langsung spontan, "Arek endi iku reek?!!"
Ketika kampung kelahiran saya tampak seperti pesantren, jangan kaget jika ada juga peristiwa-peristiwa amoral di sana. Bukan berarti lelaki yang tiap hari tampak bersarung itu tidak pernah masuk diskotik atau tempat-tempat hiburan lainnya, walaupun sarungnya ditaruh dan ganti celana...
Banyak juga cerita dari tetangga bahwa gadis-gadis muda yang bila di kampung halamannya tampak tertutup rapat, begitu sudah berada di area tertentu, lepaslah sudah jilbab, dan rok panjangnya. Bahkan hampir semua telanjang ketika di kamar mandi... hehehe..
Post a Comment