Nasib Pasar Desa
Sewaktu masih kecil, saya suka pergi ke pasar tradisional di desa saya. Saya menyaksikan pasar di sana cukup ramai. Berbagai jenis dagangan ada. Mulai jualan bumbu, beras, ikan, sayur, hingga alat-alat pertukangan, pakaian, dan buku. Sayangnya, pasar yang terletak di pinggir bengawan Solo itu sering kali terendam banjir waktu itu. Akibatnya, para pedagang harus pindah lokasi ke tempat yang tidak jauh dari pasar itu.
Entah kenapa setelah pasar desa direnovasi, pasar tidak makin ramai, sebaliknya makin sepi. Beberapa pedagang tampak pindah berjualan di lapangan depan pelabuhan penyerangan. Namun tidak lama perlahan-lahan habis juga.
Tiba-tiba muncul "pasar kaget" di tempat yang cukup jauh dari pasar sebelumnya. Awalnya "pasar kaget" itu muncul dari beberapa penjual sayur-sayuran atau umbi-umbian, dan lain-lain melakukan transaksi di dekat perbatasan masuk desa. Secara geografis, posisinya sangat strategis, yakni berada di tengah penduduk yang lebih padat. Sedangkan pasar desa terletak di pinggiran yang jauh dari jangkauan masyarakat yang berada di sekitar "pasar kaget" itu.
Meski hanya buka di pagi hari, pasar kaget itu lebih ramai dan membuat sepi pasar desa. Walaupun pasar kaget itu sempat dibubarkan, tetap saja muncul terus. Ketika saya pulang kampung, setahun yang lalu, pasar kaget makin ramai. Meskipun hanya di pagi hari. Pemerintah desa tampaknya menyerah terhadap perilaku pasar (konsumen). Sedangkan pasar desa, masih tetap bertahan, bahkan buka hingga malam.
Saya membayangkan, mungkin dulu pasar desa itu diletakkan di pinggir bengawan Solo dan dekat Tambangan atau tempat penyeberangan antara desa dan tambak, diasumsikan para petambak yang pulang membawa uang bisa langsung belanja di pasar. Padahal kebanyakan yang belanja ke pasar adalah kalangan perempuan untuk membeli komoditas kebutuhan dapur, seperti lombok (cabai), bawang, sayur-sayuran, getuk, ikan, dan sebagainya. Dan komoditas utama yang dijual di pasar merupakan komoditas cepat rusak (busuk). Selain itu, selain punya warung di pasar, banyak juga para pedagang itu membuka warung di rumah yang komoditasnya sama.
Perkembangan pasar desa seperti di desa saya dulu memang kadang memprihatinkan. Posisi yang kurang strategis tampaknya menjadi persoalan yang mendasar. Namun jika ada dukungan kebijakan perdagangan yang bisa memaksa orang hanya bisa transaksi di pasar desa, tentu akan menarik lagi. Misal, bagaimana jika ada orang menjajakan kebutuhan dapur dengan cara keliling kampung? Apakah mereka akan kena sanksi atau retribusi lebih mahal?
Memang pasar yang berdiri permanen seperti di desa itu saya harus dikelola secara serius, termasuk dukungan kebijakan pemerintah desa. Jika urusan perdagangan ini diserahkan kepada keinginan pasar (konsumen), tentu bisa menimbulkan rasa ketidakadilan bagi para pedagang di pasar. Mereka sudah sewa tempat, bayar retribusi harian, ternyata tidak mendapat perlindungan yang kuat. Wajar saja jika pasar desa itu makin tidak menarik, bahkan bisa bubar. Apalagi kapasitas (jumlah) komoditas yang dijual di pasar itu skalanya sangat tanggung. Berbeda dengan jenis-jenis pasar induk di tingkat kecamatan atau posisinya strategis, bisa diakses oleh beberapa desa secara mudah.
Saya tidak tahu apakah desa bisa mengeruk pendapatan cukup besar dari sebuah pasar desa, yang hanya mampu diakses oleh satu desa saja? Nah, jika sangat kecil, bagaimana sebuah desa mengelola potensi pasar desa tersebut? Perlu pemikiran serius. Jika pemerintah pusat dan daerah menemukan solusi ini, perkembangan ekonomi desa mungkin juga akan berkembang.
Entah kenapa setelah pasar desa direnovasi, pasar tidak makin ramai, sebaliknya makin sepi. Beberapa pedagang tampak pindah berjualan di lapangan depan pelabuhan penyerangan. Namun tidak lama perlahan-lahan habis juga.
Tiba-tiba muncul "pasar kaget" di tempat yang cukup jauh dari pasar sebelumnya. Awalnya "pasar kaget" itu muncul dari beberapa penjual sayur-sayuran atau umbi-umbian, dan lain-lain melakukan transaksi di dekat perbatasan masuk desa. Secara geografis, posisinya sangat strategis, yakni berada di tengah penduduk yang lebih padat. Sedangkan pasar desa terletak di pinggiran yang jauh dari jangkauan masyarakat yang berada di sekitar "pasar kaget" itu.
Meski hanya buka di pagi hari, pasar kaget itu lebih ramai dan membuat sepi pasar desa. Walaupun pasar kaget itu sempat dibubarkan, tetap saja muncul terus. Ketika saya pulang kampung, setahun yang lalu, pasar kaget makin ramai. Meskipun hanya di pagi hari. Pemerintah desa tampaknya menyerah terhadap perilaku pasar (konsumen). Sedangkan pasar desa, masih tetap bertahan, bahkan buka hingga malam.
Saya membayangkan, mungkin dulu pasar desa itu diletakkan di pinggir bengawan Solo dan dekat Tambangan atau tempat penyeberangan antara desa dan tambak, diasumsikan para petambak yang pulang membawa uang bisa langsung belanja di pasar. Padahal kebanyakan yang belanja ke pasar adalah kalangan perempuan untuk membeli komoditas kebutuhan dapur, seperti lombok (cabai), bawang, sayur-sayuran, getuk, ikan, dan sebagainya. Dan komoditas utama yang dijual di pasar merupakan komoditas cepat rusak (busuk). Selain itu, selain punya warung di pasar, banyak juga para pedagang itu membuka warung di rumah yang komoditasnya sama.
Perkembangan pasar desa seperti di desa saya dulu memang kadang memprihatinkan. Posisi yang kurang strategis tampaknya menjadi persoalan yang mendasar. Namun jika ada dukungan kebijakan perdagangan yang bisa memaksa orang hanya bisa transaksi di pasar desa, tentu akan menarik lagi. Misal, bagaimana jika ada orang menjajakan kebutuhan dapur dengan cara keliling kampung? Apakah mereka akan kena sanksi atau retribusi lebih mahal?
Memang pasar yang berdiri permanen seperti di desa itu saya harus dikelola secara serius, termasuk dukungan kebijakan pemerintah desa. Jika urusan perdagangan ini diserahkan kepada keinginan pasar (konsumen), tentu bisa menimbulkan rasa ketidakadilan bagi para pedagang di pasar. Mereka sudah sewa tempat, bayar retribusi harian, ternyata tidak mendapat perlindungan yang kuat. Wajar saja jika pasar desa itu makin tidak menarik, bahkan bisa bubar. Apalagi kapasitas (jumlah) komoditas yang dijual di pasar itu skalanya sangat tanggung. Berbeda dengan jenis-jenis pasar induk di tingkat kecamatan atau posisinya strategis, bisa diakses oleh beberapa desa secara mudah.
Saya tidak tahu apakah desa bisa mengeruk pendapatan cukup besar dari sebuah pasar desa, yang hanya mampu diakses oleh satu desa saja? Nah, jika sangat kecil, bagaimana sebuah desa mengelola potensi pasar desa tersebut? Perlu pemikiran serius. Jika pemerintah pusat dan daerah menemukan solusi ini, perkembangan ekonomi desa mungkin juga akan berkembang.
Post a Comment