Bertemu Cak Tarno
Di tengah perjalanan menuju stasiun, saya bertemu dengan Cak Tarno. Saya tidak bisa mengelak ajakannya untuk ngopi di kios bukunya. Apalagi saya diancam akan dikutuk jika menolak ajakannya.
Mendekati kios bukunya, sebuah poster tergeletak di bawah tembok. Segera Cak Tarno mengambil dan menempelkan ke tembok yang sudah penuh kertas itu. Rupanya, poster itu berisi pengumuman acara bedah buku Brand Pemimpin Politik, yang diselenggarakan oleh ASPASKOM dan Cak Tarno Enterprise.
Nama Cak Tarno bukanlah nama yang asing di kalangan pengkaji ilmu sosial dan humaniora kritis di Universitas Indonesia. Saya sendiri baru mengenalnya sekitar tahun 2004, ketika beberapa kali mencari-cari buku di sana. Mungkin karena sesama dari Jawa Timur, saya merasa bertemu saudara sendiri, apalagi saya bisa utang buku di situ. Saya baru tahu juga, ternyata nama Cak Tarno telah menasional, terutama sejak lahirnya Cak Tarno Institute (CTI). Entah sudah berapa banyak sarjana, master, doktor, aktivis, dan penulis yang keluar masuk di kios buku Cak Tarno itu. Ah, semoga saya juga mendapat berkahnya..
Saya tidak tahu persis sejak kapan Cak Tarno meminati dan berjualan buku, khususnya ilmu sosial dan humaniora kritis itu. Namun yang paling menarik perhatian saya adalah Cak Tarno bukan sekadar berjualan buku. Cak Tarno bukan jenis penjual buku yang hanya melayani tukar-menukar buku dan uang. Akan tetapi, dia juga membuka komunikasi dengan pembeli lebih kritis tentang buku-buku yang dijualnya, atau dicari pembeli. Dia juga menjelaskan isi, pendekatan atau teori, dan bahkan membandingkan antara buku satu dengan lainnya. Bagi kelompok mahasiswa yang mempunyai minat diskusi, melihat pelayanan Cak Tarno kemungkinan akan terpikat.
Mungkin pengamat marketing akan melihat gaya Cak Tarno dalam melayani konsumennya sebagai strategi memikat pelanggan. Pandangan tersebut memang wajar, sebab Cak Tarno adalah pedagang. Pedagang memang harus membangun relasi pedagang-pelanggan yang tahan lama dan tentu saling menguntungkan. Namun saya tidak tahu bagaimana sirkulasi keuangan penjualan bukunya jika Cak Tarno mempersilahkan pelanggan untuk mengutang terlebih dahulu. Apalagi peminat buku-buku kritis kebanyakan kelompok yang memiliki problem ekonomi "kritis" seperti saya. Hehe..
Bagi saya, Cak Tarno, sebagaimana saya sebut di atas, tampaknya tidak sekadar mencari untung seperak-dua perak dari penjualan bukunya. Mencari keuntungan materi dalam berjual-beli memang wajar, bahkan wajib, tetapi mencari keuntungan sosial dan intelektual bukanlah hal yang lumrah. Dan posisi inilah yang kini diambil oleh Cak Tarno.
Menariknya lagi, Cak Tarno sebagai penjual buku kelas kecil, tampak memiliki impian yang lebih besar daripada kapasitasnya sendiri dan bahkan bisa jadi kapasitas orang-orang besar. Interaksinya dengan buku-buku yang jualnya, para pelanggan, dan forum diskusi CTI setiap Sabtu siang memang sangat mungkin memperluas gagasan dan semangatnya. Dia memimpikan ada standar mutu buku-buku yang bakal terbit. Dia juga berharap pemerintah atau negara memperhatikan kondisi buku di negeri ini semaksimal mungkin, sehingga benar-benar bermanfaat bagi keterbelakangan Indonesia.
Sambil berbincang ke sana-ke mari, saya dibikinkan Cak Tarno kopi yang nikmat. Sayangnya, bunyi ketak-ketok di belakang kios yang makin mungil itu bikin suasana makin tak nyaman. Entah berapa lama lagi kios buku Cak Tarno berubah wujud menjadi apartemen. Ya, kios-kios di sekitar itu, termasuk kios buku Cak Tarno akan digusur dan dibangun apartemen. Di sinilah, saya merasa prihatin ketika modal intelektual dan kapital pas-pasan di negeri ini begitu mudah dihancurkan oleh modal kapital yang kuat. Mungkin fenomena ini pantas juga diberi judul "Ketika Kapitalisme Berjingkrak" sebagaimana judul terjemahan buku George Ritzer atau dibisa juga diberi judul "Merebut Ruang Kota" seperti buku karya Purnawan Basundoro yang juga pernah saya beli di kios buku Cak Tarno, walaupun isi bukunya berbeda sama sekali.
Mendekati kios bukunya, sebuah poster tergeletak di bawah tembok. Segera Cak Tarno mengambil dan menempelkan ke tembok yang sudah penuh kertas itu. Rupanya, poster itu berisi pengumuman acara bedah buku Brand Pemimpin Politik, yang diselenggarakan oleh ASPASKOM dan Cak Tarno Enterprise.
Nama Cak Tarno bukanlah nama yang asing di kalangan pengkaji ilmu sosial dan humaniora kritis di Universitas Indonesia. Saya sendiri baru mengenalnya sekitar tahun 2004, ketika beberapa kali mencari-cari buku di sana. Mungkin karena sesama dari Jawa Timur, saya merasa bertemu saudara sendiri, apalagi saya bisa utang buku di situ. Saya baru tahu juga, ternyata nama Cak Tarno telah menasional, terutama sejak lahirnya Cak Tarno Institute (CTI). Entah sudah berapa banyak sarjana, master, doktor, aktivis, dan penulis yang keluar masuk di kios buku Cak Tarno itu. Ah, semoga saya juga mendapat berkahnya..
Saya tidak tahu persis sejak kapan Cak Tarno meminati dan berjualan buku, khususnya ilmu sosial dan humaniora kritis itu. Namun yang paling menarik perhatian saya adalah Cak Tarno bukan sekadar berjualan buku. Cak Tarno bukan jenis penjual buku yang hanya melayani tukar-menukar buku dan uang. Akan tetapi, dia juga membuka komunikasi dengan pembeli lebih kritis tentang buku-buku yang dijualnya, atau dicari pembeli. Dia juga menjelaskan isi, pendekatan atau teori, dan bahkan membandingkan antara buku satu dengan lainnya. Bagi kelompok mahasiswa yang mempunyai minat diskusi, melihat pelayanan Cak Tarno kemungkinan akan terpikat.
Mungkin pengamat marketing akan melihat gaya Cak Tarno dalam melayani konsumennya sebagai strategi memikat pelanggan. Pandangan tersebut memang wajar, sebab Cak Tarno adalah pedagang. Pedagang memang harus membangun relasi pedagang-pelanggan yang tahan lama dan tentu saling menguntungkan. Namun saya tidak tahu bagaimana sirkulasi keuangan penjualan bukunya jika Cak Tarno mempersilahkan pelanggan untuk mengutang terlebih dahulu. Apalagi peminat buku-buku kritis kebanyakan kelompok yang memiliki problem ekonomi "kritis" seperti saya. Hehe..
Bagi saya, Cak Tarno, sebagaimana saya sebut di atas, tampaknya tidak sekadar mencari untung seperak-dua perak dari penjualan bukunya. Mencari keuntungan materi dalam berjual-beli memang wajar, bahkan wajib, tetapi mencari keuntungan sosial dan intelektual bukanlah hal yang lumrah. Dan posisi inilah yang kini diambil oleh Cak Tarno.
Menariknya lagi, Cak Tarno sebagai penjual buku kelas kecil, tampak memiliki impian yang lebih besar daripada kapasitasnya sendiri dan bahkan bisa jadi kapasitas orang-orang besar. Interaksinya dengan buku-buku yang jualnya, para pelanggan, dan forum diskusi CTI setiap Sabtu siang memang sangat mungkin memperluas gagasan dan semangatnya. Dia memimpikan ada standar mutu buku-buku yang bakal terbit. Dia juga berharap pemerintah atau negara memperhatikan kondisi buku di negeri ini semaksimal mungkin, sehingga benar-benar bermanfaat bagi keterbelakangan Indonesia.
Sambil berbincang ke sana-ke mari, saya dibikinkan Cak Tarno kopi yang nikmat. Sayangnya, bunyi ketak-ketok di belakang kios yang makin mungil itu bikin suasana makin tak nyaman. Entah berapa lama lagi kios buku Cak Tarno berubah wujud menjadi apartemen. Ya, kios-kios di sekitar itu, termasuk kios buku Cak Tarno akan digusur dan dibangun apartemen. Di sinilah, saya merasa prihatin ketika modal intelektual dan kapital pas-pasan di negeri ini begitu mudah dihancurkan oleh modal kapital yang kuat. Mungkin fenomena ini pantas juga diberi judul "Ketika Kapitalisme Berjingkrak" sebagaimana judul terjemahan buku George Ritzer atau dibisa juga diberi judul "Merebut Ruang Kota" seperti buku karya Purnawan Basundoro yang juga pernah saya beli di kios buku Cak Tarno, walaupun isi bukunya berbeda sama sekali.
Post a Comment