Lebaran Keempatpuluh
Hari Raya Idul Fitri 2015 adalah lebaran keempatpuluh yang saya alami. Sebab, saya lahir dua bulan sebelum lebaran pada waktu itu. Selama empat puluh kali lebaran, suasana dan perasaan yang saya alami tentu berbeda.
Lebaran 2015 ini saya tidak mudik, alasan utamanya, karena putri kedua saya Jaladhiy Salmah Vardhanah baru berusia 20 hari. Tidak mudik saat lebaran bukanlah hal yang pertama dalam pengalaman hidup saya. Sejak 1993 saya mulai merantau dan saat itu pula saya terkena hukum mudik saat lebaran. Antara 1999/2000-2002, saya tidak mudik tepat saat lebaran, karena saya menjadi panitia penyelenggaraan shalat idul fitri di Masjid At-Taqwa. Pada 2007 saya hampir tidak mudik, di samping karena tidak punya uang, saatnya menyelesaikan tesis dan pekerjaan, serta, yang paling mengerikan, ditanya tetangga, "kapan nikah?". Namun akhirnya saya mudik pertama kali naik pesawat, karena tiba-tiba honor saya turun diujung Ramadhan. Saya mudik tepat hari H lebaran, penerbangan pesawat sekitar pukul 06:00, sehingga saya tidak ikut shalat idul fitri pertama kali.
Lebaran ketigapuluhtiga adalah lebaran yang penting bagi saya. Saking pentingnya, saya pun mudik jauh-jauh hari sebelum lebaran. Saya menumpang bus Pahala Kencana dari terminal Rawamangun. Sesampai di rumah, rupanya dompet saya lenyap entah ke mana? KTP, SIM C, ATM, dan uang 200 ribu hilang. Masih selamat di kantong celana saya masih tersisa uang untuk naik angkot dan ojek sampai rumah. Karena itu, saya segera membuat KTP baru, mengambil uang tunai di bank, dan membuka rekening baru. Pada hari keduabelas Syawal saya menikah. Inilah yang membuat lebaran ini istimewa.
Lebaran ketigapuluhempat juga merupakan lebaran penting bagi saya. Putri pertama saya, Jaladry Rahmah Alanawa baru berusia sekitar 2-3 bulan. Tentu saja saya mudik, sebab Nawa lahir di kampung. Dan inilah lebaran saya terakhir dengan Emak saya di kampung halaman. Ketika Nawa berusia sekitar 9 bulan, Emak menghadap ilahi.
Selama puluhan tahun saya berlebaran dengan Emak. Sejak usia dua bulan setengah setelah dilahirkan, hingga lebaran ketigapuluhempat. Saya teringat betapa Emak mencarikan pakaian baru buat lebaran. Saya lupa kapan terakhir Emak tidak lagi membelikan saya pakaian lebaran. Emak sampai utang ke toko pakaian yang menjadi langganannya. Biasanya saya disuruh memilih sarung dengan kakak saya, Amnullah. Sedangkan bajunya saya jahitkan ke Zuhdi, santri At-Thohiriyah, atau penjahit-penjahit lainnya. Bahkan Emak pernah menjahitkan sendiri baju buat saya.
Lebaran ketigapuluhempat juga merupakan lebaran pertama saya bersama keluarga kecil saya sendiri. Saya sudah tidak merasa sungkan lagi dengan para tetangga dan keluarga. Mereka tidak lagi menanyakan "kapan nikah?" atau "kapan punya anak?", sebab saya sedang bersama mereka berdua. Kampung saya pun telah menjadi dua. Ketika saya sekeluarga mudik, mudiknya benar-benar mudik. Istri saya, meski beda kampung, masih satu provinsi, satu suku, dan satu tradisi.
Lebaran ketigapuluhlima adalah lebaran tanpa Emak pertama kali. Istri dan anak saya sudah ikut saya merantau. Tepat hari H lebaran, kami tidak mudik. Bukan karena tidak ada Emak, tetapi kami menyesuaikan dengan agenda keberangkatan haji kakak saya yang pertama. Daripada kami bolak-balik kampung, lebih baik kami mudik sekali bertepatan dengan hari keberangkatan tersebut.
Dari sekian kali mudik saat lebaran, yang paling lama dan berat di perjalanan adalah saat lebaran ketigapuluhsembilan. Kami berombongan dengan teman-teman mengendarai mobil sendiri. Kami berangkat sekitar pukul 10/11 malam, Subuh baru keluar tol Cikampek. Dari tol Cikampek sampe Cirebon sekitar pukul 13.00, dan sampai Semarang sekitar pukul 11 malam. Kami menginap di Masjid Baiturrohman Simpang Lima, kebetulan di sana teman-teman satu pesantren masih bertugas di sana. Pagi harinya, mampir ke rumah kakak saya.
Kini lebaran keempatpuluh. Sengaja kami tidak mudik. Justru ada kabar keluarga di kampung yang hendak ke rumah perantauan saya karena dua hal: menyambut kehadiran keluarga baru dan melepas keberangkatan haji kakak saya ketiga.. Ied Mubarak..
Lebaran 2015 ini saya tidak mudik, alasan utamanya, karena putri kedua saya Jaladhiy Salmah Vardhanah baru berusia 20 hari. Tidak mudik saat lebaran bukanlah hal yang pertama dalam pengalaman hidup saya. Sejak 1993 saya mulai merantau dan saat itu pula saya terkena hukum mudik saat lebaran. Antara 1999/2000-2002, saya tidak mudik tepat saat lebaran, karena saya menjadi panitia penyelenggaraan shalat idul fitri di Masjid At-Taqwa. Pada 2007 saya hampir tidak mudik, di samping karena tidak punya uang, saatnya menyelesaikan tesis dan pekerjaan, serta, yang paling mengerikan, ditanya tetangga, "kapan nikah?". Namun akhirnya saya mudik pertama kali naik pesawat, karena tiba-tiba honor saya turun diujung Ramadhan. Saya mudik tepat hari H lebaran, penerbangan pesawat sekitar pukul 06:00, sehingga saya tidak ikut shalat idul fitri pertama kali.
Lebaran ketigapuluhtiga adalah lebaran yang penting bagi saya. Saking pentingnya, saya pun mudik jauh-jauh hari sebelum lebaran. Saya menumpang bus Pahala Kencana dari terminal Rawamangun. Sesampai di rumah, rupanya dompet saya lenyap entah ke mana? KTP, SIM C, ATM, dan uang 200 ribu hilang. Masih selamat di kantong celana saya masih tersisa uang untuk naik angkot dan ojek sampai rumah. Karena itu, saya segera membuat KTP baru, mengambil uang tunai di bank, dan membuka rekening baru. Pada hari keduabelas Syawal saya menikah. Inilah yang membuat lebaran ini istimewa.
Lebaran ketigapuluhempat juga merupakan lebaran penting bagi saya. Putri pertama saya, Jaladry Rahmah Alanawa baru berusia sekitar 2-3 bulan. Tentu saja saya mudik, sebab Nawa lahir di kampung. Dan inilah lebaran saya terakhir dengan Emak saya di kampung halaman. Ketika Nawa berusia sekitar 9 bulan, Emak menghadap ilahi.
Selama puluhan tahun saya berlebaran dengan Emak. Sejak usia dua bulan setengah setelah dilahirkan, hingga lebaran ketigapuluhempat. Saya teringat betapa Emak mencarikan pakaian baru buat lebaran. Saya lupa kapan terakhir Emak tidak lagi membelikan saya pakaian lebaran. Emak sampai utang ke toko pakaian yang menjadi langganannya. Biasanya saya disuruh memilih sarung dengan kakak saya, Amnullah. Sedangkan bajunya saya jahitkan ke Zuhdi, santri At-Thohiriyah, atau penjahit-penjahit lainnya. Bahkan Emak pernah menjahitkan sendiri baju buat saya.
Lebaran ketigapuluhempat juga merupakan lebaran pertama saya bersama keluarga kecil saya sendiri. Saya sudah tidak merasa sungkan lagi dengan para tetangga dan keluarga. Mereka tidak lagi menanyakan "kapan nikah?" atau "kapan punya anak?", sebab saya sedang bersama mereka berdua. Kampung saya pun telah menjadi dua. Ketika saya sekeluarga mudik, mudiknya benar-benar mudik. Istri saya, meski beda kampung, masih satu provinsi, satu suku, dan satu tradisi.
Lebaran ketigapuluhlima adalah lebaran tanpa Emak pertama kali. Istri dan anak saya sudah ikut saya merantau. Tepat hari H lebaran, kami tidak mudik. Bukan karena tidak ada Emak, tetapi kami menyesuaikan dengan agenda keberangkatan haji kakak saya yang pertama. Daripada kami bolak-balik kampung, lebih baik kami mudik sekali bertepatan dengan hari keberangkatan tersebut.
Dari sekian kali mudik saat lebaran, yang paling lama dan berat di perjalanan adalah saat lebaran ketigapuluhsembilan. Kami berombongan dengan teman-teman mengendarai mobil sendiri. Kami berangkat sekitar pukul 10/11 malam, Subuh baru keluar tol Cikampek. Dari tol Cikampek sampe Cirebon sekitar pukul 13.00, dan sampai Semarang sekitar pukul 11 malam. Kami menginap di Masjid Baiturrohman Simpang Lima, kebetulan di sana teman-teman satu pesantren masih bertugas di sana. Pagi harinya, mampir ke rumah kakak saya.
Kini lebaran keempatpuluh. Sengaja kami tidak mudik. Justru ada kabar keluarga di kampung yang hendak ke rumah perantauan saya karena dua hal: menyambut kehadiran keluarga baru dan melepas keberangkatan haji kakak saya ketiga.. Ied Mubarak..
Post a Comment